Sabtu, 17 September 2011

Peran Muslimah dalam kancah Jihad

“Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia itu mukmin, maka mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dizhalimi sedikit pun”[1]

Sesungguhnya peran muslimah dalam kancah jihad, sangatlah banyak dan terbuka lebar. Mereka memiliki peran yang sangat penting dan jelas, yang mana tidak mungkin terhapus oleh zaman selamanya. Sejarah telah mencatatnya, sedangkan sejarah itu akan terus berulang meski tokoh dan tempatnya berganti.
Dalam hadis shohih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dari Ruba’i binti Muawwidz radliyallahu ‘anha, beliau berkata, “Kami berperang bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, kami memberi minum para prajurit dan membantu mereka, mengembalikan yang terluka dan terbunuh ke Madinah”.[2]
Sungguh tak dapat dipungkiri, keberanian seorang mujahid di lapangan maka ada seorang wanita ‘di belakang’nya. Jika ada seorang mujahid yang gagah berani, maka lihatlah siapa ibunya, atau lihatlah siapa istrinya, sungguh kan kita temui muslimah-muslimah yang tangguh di dalamnya. Muslimah ini memberi motivasi pada ayah, suami, saudara laki-laki dan anak-anak laki-lakinya agar pergi berjihad, menunjukkan pembelaan kepada dienullah dan pengorbanan diri untuk Allah. Ia memotivasi dengan memberikan semangat untuk mereka, memotivasi dengan menyumbangkan harta untuk mereka dalam rangka jihad fie sabilillah, memotivasi dengan tidak mengeluh saat ditinggal, memotivasi dengan tetap sabar atas kepergian mereka dan ujian yang menimpa mereka. Sungguh, inilah tugas muslimah dalam kancah jihad baik dari dulu maupun sekarang.
Akan tetapi kita lihat pada masa sekarang, tak sedikit muslimah yang masih ragu untuk ikut serta dalam kancah jihad ini. Tak sedikit kita melihat, mereka masih menahan suami dan anak laki-laki mereka untuk ikut serta dalam jihad fie sabilillah. Merasa tak sanggup ditinggal. Apa yang meragukanmu duhai ukhity? Apakah kita kehilangan teladan yang mampu memberikan contoh? Demi Allah, keteladanan itu banyak ya Ukhtiy, jika kita mau mencari serta meneladani mereka.
Saya ingatkan untuk diri saya dan antunna sekalian akan kisah-kisah kepahlawanan shohabiyah yang beriman, berhijrah dan berjihad fie sabilillah dalam tulisan ini, juga kisah kepahlawanan muslimah dalam medan jihad di zaman kita sekarang. Dengannya, bi idznillah, semoga dapat memotivasi kita untuk bisa seperti mereka dan menjadikan hati kita tergerak untuk ikut andil bagian pada pembelaan terhadap dien Allah dalam peperangan sengit yang dilancarkan salibis dan zionis ini.
Adapun peran yang dapat kita lakukan dalam kancah jihad ini, di antaranya adalah;
1.      Memotivasi ayah, saudara laki-laki, suami dan anak laki-laki kita untuk jihad fie sabilillah dan bersabar atas ujian yang menimpa kita.
Adalah kewajiban kita—wahai ukhtiy muslimah—untuk senantiasa memotivasi mereka untuk berpartisipasi dalam jihad ini, di mana jihad telah menjadi fardhu ‘ain dalam kondisi saat ini[3]. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “…kobarkanlah (semangat) orang-orang beriman (untuk berperang)…”[4]. Dan, “Wahai Nabi! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang…”[5]
Sebagai anak, kita harus memotivasi ayah kita dan saudara laki-laki kita untuk turut serta dalam jihad fie sabilillah ini. Dan sebagai seorang istri juga seorang ibu, sudah selayaknyalah kita memotivasi suami dan anak laki-laki kita untuk turut andil dalam perjuangan fie sabilillah, untuk turut ambil bagian dalam pengorbanan di jalan Allah. Dan sungguh, telah banyak dari orang-orang sebelum kita yang telah menjadi contoh dalam pengorbanan ini…
Lihatlah bagaimana seorang Khadijah binti Khuwailidy radliyallahu ‘anha senantiasa memotivasi suaminya—Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sang panglima perang—dalam mendakwahkan dan menyebarkan Islam. Ketabahan beliau radhliyallahu ‘anha dalam mendampingi suaminya di jalan tauhid wal jihad, baik dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan sempit maupun lapang, adalah teladan yang sangat mengagumkan. Beliau dengan mantap menghibur Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan yang akan terus dikenang sejarah, “Demi Alloh, Alloh tidak akan menghinakan Anda selamanya. Sesungguhnya Anda menyambung hubungan kerabat, jujur dalam berbicara, menanggung letih dan menolong yang tertimpa musibah”.
Dan teladan itu pun telah ada pada diri Al Khansa’—ibu para syuhada’—radliyallahu ‘anha, yang sedikit pun tak ragu memotivasi keempat anak laki-lakinya agar ikut berperang dan agar tidak lari dari medan perang. Tidak ragu untuk menjadikan anak-anaknya bagian dari kafilah mujahideen sekaligus kafilah syuhada’. Beliau radliyallahu ‘anha merupakan cermin pengorbanan seorang ibu, teladan bagi para ibu sepanjang zaman. Duhai, betapa mulianya shohabiyah ini dan pengorbanannya untuk dien Islam…
Maka, ketika kabar kesyahidan anaknya sampai kepada ibu yang beriman dan bersabar ini, ia sama sekali tak meratap juga tak menunjukkan sikap sedih. Tahukah apa yang ia katakan?
“Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kesyahidan mereka. Saya mengharap pahala dari Rabb-ku. Semoga Ia mengumpulkan saya bersama mereka di tempat yang penuh kasih sayangNya (jannah)”. Perkataan yang didasari keimanan yang tangguh, yang akan terus diingat oleh sejarah sebagai sebuah pengorbanan di jalan Allah.
Subhanallah!! Beginilah seharusnya seorang ibu, dengan senang hati menyerahkan buah hatinya di jalan Allah, berharap pahala dariNya dan jannahNya. Maka, ukhtiy fillah…tidakkah hati kita tergerak untuk meneladani para shohabiyah ini?
Kita pun tak melupakan kisah shohibatus syakkal, seorag ibu yang memberikan sebuah ikalan rambut miliknya kepada Abu Qudamah Asy Syama’ rahimahullah, yang ia harapkan dapat ikut serta dalam jihad dan berdebu fie sabilillah bersamanya. Tak lupa, ia pun memotivasi anak laki-lakinya untuk turut serta dalam peperangan bersama Abu Qudama Asy Syama. Dan tahukah ukhtiy, apa yang beliau ucapkan saat Abu Qudamah hendak memberitahukan berita kesyahidan anaknya?
“Jikalau anakku pulang bersamamu dalam keadaan selamat, maka itu kabar menyedihkan bagiku. Dan jikalau anakku terbunuh fie sabilillah (syahid) berarti anda membawa kabar gembira”. Subhanallah…!! Kalimat yang mantap yang berasal dari keimanan yang dalam dan keyakinan yang kuat akan janji Allah.
Dan ketika diberitahukan bahwa anaknya terbunuh fie sabilillah, maka beliau pun menjawab, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikannya sebagai simpanan besok pada hari kiamat”. Inilah buah keimanan yang manis, dan bukti kejujuran keimananya. Sungguh, ukhtiy fillah, banyak teladan yang bisa kita jadikan contoh dalam meniti jalan jihad ini…
Dan di zaman kita ini, teladan itu terlampau banyak…kalau kita mau mencari dan meneladani mereka. Ummat ini tidaklah mandul untuk melahirkan sosok-sosok khansa’ dan yang semisalnya. Di sana, ada ummu islambuly rahimahallah yang tak sedih ketika buah hatinya dieksekusi pemerintah thaghut Mesir karena aksi jihadnya dalam ‘mengeksekusi’ thaghut Anwar Sadat. Ia justru bergembira dan menyajikan hidangan, sesaat setelah eksekusi anaknya dilangsungkan, dan ia berkata, “Hari ini saya merayakan pernikahan anak saya dengan hurun ‘iin”. Subhanallah…begitu tegarnya beliau.
Di sana masih ada sosok ummu Muhammad (istri asy syahid—kama nahsabuhu wa huwa hasibuhu —‘Abdullah ‘azzam rahimahullah), di mana beliau begitu sabar ditinggal suaminya berjihad bertahun-tahun. Bersabar akan kesempitan hidup yang dialaminya di jalan tauhid dan jihad. Beliau adalah seorang yang zuhud lagi sabar, sebagaimana yang dikatakan oleh suaminya, syaikh Abdullah Azzam rahimahullah. Beliau memberikan keteladan yang besar bagi kita—para muslimah—dalam kesabaran dan ketegaran, ketika suami dan kedua anaknya syahid di Peshawar, Pakistan. Alangkah sabarnya engkau wahai ummu Muhammad…
Masih ada pula di zaman kita ini, sosok seorang istri dan ibu yang menjadi teladan bagi kita. Sebagaimana yang diceritakan oleh syaikh abu mujahid dalam tulisannya (Realita Jihad)[6], ketika suami dan anaknya syahid—insyaAllah—dalam peperangan di Afghanistan, ia tidaklah bersedih karena itu, akan tetapi ia berkata, “Sungguh kesedihankau karena tidak dapat memberikan bantuan makanan kalian itu lebih aku rasakana, dari pada kesedihanku karena kehilangan anak kesayangan hatiku…”. Allahu akbar!!
Andai bukan karena ada sesuatu yang saya khawatirkan, tentulah saya akan ceritakan bagaimana kesabaran dan ketegaran para istri mujahid dan syuhada’ di negeri kita ini, yang saya ketahui. Karena—menurut saya—mereka layak untuk dijaidkan contoh bagi kita, agar kita senantiasa termotivasi.
Maka, wahai cucu-cucu Khansa’, inilah teladan yang mulia untuk kita, adakah teladan yang lebih baik selain mereka?
Tidakkah hati kita tergerak untuk memotivasi ayah, saudara laki-laki, suami dan anak laki-laki kita untuk berjihad?
Tidak tergerakkah kita untuk menjadi generasi Khansa’ abad ini?
Sungguh demi Allah, adalah kebahagiaan sejati bagi kita apabila kita dapat ikut andil dalam kancah jihad ini. Adalah kebahagiaan yang sempurna bagi kita di dunia ini, apabila Allah takdirkan kita sebagai anak dari seorang mujahid lagi syuhada’, atau saudara dari seorang mujahid lagi syuhada’, atau istri dari seorang mujahid lagi syuhada’ atau ibu dari seorang mujahid lagi syuhada’. Demi Allah, itulah kemuliaan di dunia ini…
Sesungguhnya, mereka (ayah, saudara laki-laki, suami dan anak laki-laki kita) suatu saat akan meninggal juga, cepat atau lambat, baik kita menginginkannya atau pun tidak. Dan kehidupan di dunia ini hanyalah kehidupan yang semu, sedangkan kehidupan akhirat itu adalah kehidupan yang sebenarnya. Lalu mengapa tidak kita semangati mereka untuk turut serta dalam jihad fie sabilillah? Agar di jannahlah—insyaAllah—kelak kita bisa bertemu dengan mereka, sedangkan kebahagiaan di jannah itulah kebahagiaan yang hakiki.
“…padahal kenikmatan di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit”[7]
2.      Membela mujahideen dengan lisan kita, menyingkap syubhat yang memojokkan mereka dan memberikan hujjah untuk mereka di hadapan manusia
Sungguh, ukhtiy muslimah, kita telah diperintahkan oleh Allah untuk menolong dienNya, dengan apapun yang dapat kita lakukan. Dan bagian dari menolong dienNya, adalah menolong para wali-waliNya yang menolong dien Allah, yaitu mujahideen.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong agama Allah…”[8].
Tugas kita untuk menyebarkan kemenangan-kemenangan yang diraih mujahideen. Tugas kitalah untuk membela mereka dengan lisan kita, memberikan hujjah-hujjah yang syar’i untuk membela mereka, membantah syubhat-syubhat yang menyerang mereka, agar terbayankan bagi orang yang masih ragu dan tersadarkan bagi orang yang lalai.
Telah ada sosok shohabiyah, ummul mu’minin, ‘Aisyah binti Abu Bakar radliyallahu ‘anha, yang dengan sigap membela dien Islam dengan hujah-hujah yang kuat, membantah syubhat dengan dalil-dalil yang kuat. Darinyalah ratusan hadits diriwayatkan. Beliau radliyallahu ‘anha merupakan teladan yang cemerlang akan kefaqihan terhadap dien ini. Dan dari zaman ke zaman, bahkan di zaman kita ini, kita kan dapati muslimah-muslimah yang mengambil peran ini dalam rangka membela dienNya, membela syari’atNya, membela jihad dan mujahideen.
Sudah selayaknyalah bagi kita untuk mempelajari fiqh jihad dan masalah-masalah fiqh yang berkaitan dengan jihad. Hal ini akan memberikan manfaat bagi mujahideen, ketika kita membela mereka dari celaan-celaan para penggembos, orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Dan tentu saja, orang yang membantah dengan ilmu tidak akan sama dengan orang yang membantah tanpa ilmu. Maka bantulah mujahideen dengan memberikan mereka hujjah, dengan menyingkap syubhat yang menyerang mereka dari kalangan anti jihad dan para penggembos, serta konspirasi dari kalangan munafik. Serta memuji mereka (mujahideen) di hadapan manusia serta menyebutkan keunggulan dan karomah-karomah yang mereka miliki. Dan termasuk di dalamnya adalah, kita menjelaskan kepada kaum muslimin semuanya akan hakikat perang salib yang dilancarkan salibis-zionis-komunis-paganis internasional ini.
Bukankah lewat lisan dan tulisan kitalah, kita mencoba mengharridh kaum muslimin untuk berjihad. Dan bukankah, jihad dengan lisan ini mendahului sebelum jihad dengan harta dan jiwa? Seseorang tidak dapat dimotivasi untuk jihad dengan hartanya kecuali dengan lisan (tulisan), dan tidak dapat dimotivasi untuk jihad dengan jiwanya kecuali dengan lisan (tulisan). Maka, mengapa kita tidak ikut serta berperan di dalamnya?
Termasuk dalam peran ini, adalah menyebarkan semua materi-materi yang berkaitan dengan jihad dan dukungan terhadapnya, baik berupa buku-buku, buletin-buletin, dan kaset-kaset, yang mana hal ini dapat dilakukan baik bagi yang pandai menulis atau pun yang tidak pandai menulis. Menyebarkannya baik melalui email, forum-forum, blog dan semacamnya.
3.      Membantu mujahideen dengan harta kita
Ukhtiy fillah, janganlah meremehkan peran harta kita untuk jihad fie sabilillah. Sesungguhnya ia (harta) memiliki peran penting dalam perjalanan jihad. Harta memiliki sumbangsih yang besar dalam roda jihad. Tanpanya—bi idznillah—roda jihad tidak bisa berjalan, perjalanan jihad akan terhenti, dan mujahideen tidak bisa melancarkan aksi-aksi jihad. Sedangkan Allah telah berfirman, “Belanjakanlah harta kalian di jalan Allah…”[9]
Dalam banyak ayat Al Qur’an[10], ketika Allah memerintahkan orang-orang mu’min untuk berjihad fie sabilillah, maka Allah mendahulukan jihad dengan harta dibandingkan dengan jiwa. Mengapa? Karena jihad dengan jiwa tidak akan terlaksana tanpa adanya harta yang mengiringinya. Seorang mujahid tidak bisa pergi berjihad, jika ia tidak memiliki harta untuk perjalanan jihadnya. Seorang mujahid tidak bisa melaksanakan aksi jihad, tanpa harta untuk merakit bom—misalnya—atau membeli senapan atau semacamnya yang merupakan sarana untuk jihad fie sabilillah.
Akan tetapi ini tidak berarti bahwa jihad dengan harta lebih utama dibandingkan dengan jihad dengan jiwa. Didahulukannya jihad dengan harta, karena cangkupan yang dibicarakannya sangat luas; baik dari kalngan laki-laki, wanita, pemuda, lanjut usia, anak kecil dan orang dewasa, sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh al ‘uyairi rahimahullah[11].
Hanya dalam 1 ayat[12] saja, Allah mendahulukan jihad dengan jiwa dibandingkan dengan jihad dengan harta. Karena dalam ayat ini terdapat transaksi jual beli antara pembeli (Allah) dengan penjual (orang-orang mukmin), yang mana Allah tawarkan bagi orang mukmin jannahnya yang sangat mahal, maka wajib bagi orang-orang mukmin untuk menyerahkan miliknya yang paling berharga, yaitu jiwa.
Lihatlah bagaimana pengorbanan seorang Khodijah—ummul mu’minin—radliyallahu ‘anha dalam bidang harta untuk penyebaran dien Islam. Beliau tak ragu sedikit pun menyerahkan hartanya demi tegaknya dien Islam. Maka, bukankah beliau adalah teladan yang mulia bagi kita? Lihat pula, bagaimana pengorbanan seorang ummu Muhammad untuk jihad fie sabilillah dan untuk keluarga mujahideen. Dan masih banyak lagi, teladan-teladan di zaman kita ini (bahkan di negeri kita ini) yang patut kita jadikan contoh baik yang tersembunyi mapun yang dzahir (tampak), jika saja kita mau mencari dan meneladani mereka.
Ukhtiy fillah, sesungguhnya apabila kita belum mampu membantu mujahideen dengan jiwa kita, maka bantulah mereka dengan harta kita. Bukankah kewajiban kita untuk mengurusi keluarga yang ditinggalkan mujahideen? Bukankah kewajiban kita untuk memberangkatkan mujahideen dengan harta kita? Sungguh di dalamnya ada kemuliaan dan pahala yang besar.
Dalam hadis shahih disebutkan,
“Barang siapa membekali orang yang berjihad di jalan Allah, maka dia mendapatkan pahala seperti pahalanya tanpa mengurangi pahala orang yang berjihad tersebut sedikit pun”[13]
“Siapa pun di antara kalian yang menggantikan tugas orang yang keluar berjihad di keluarganya dan hartanya dengan baik, maka dia berhak mendapatkan setengah pahala orang yang keluar berjihad”[14]
Termasuk di dalamnya adalah, kita mengumpulkan sedekah dari kaum muslimin untuk mujahideen dan keluarga mereka. Dan juga membayar zakat untuk mujahideen, karena salah satu ashnaf yang berhak memperoleh zakat adalah mujahideen sebagaimana yang Allah sebutkan dalam al qur’an[15] yaitu “ashnaf fie sabilillah”.
Demikian juga, kita harus mengeluarkan harta untuk membebaskan mujahideen yang tertawan. Karena sesungguhnya tugas kaum musliminlah (yang mampu) untuk membebaskan tiap kaum muslimin yang ditawan orang-orang kafir, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda;
“Bebaskanlah tawanan, berilah makan orang yang kelaparan, dan jenguklah orang yang sakit”.[16]
Maka, ambilah peran ini sesuai kemampuan kita. Jangan sampai kita tertinggal dari “Pasar Jihad” ini.
4.      Membantu mujahideen dengan jiwa kita
Inilah puncak pengorbanan yang tertinggi dalam pengorbanan untuk dien Islam dan kaum muslimin, pengorbanan untuk jihad dan mujahideen. Pengorbanan yang mahal, karena jiwa menjadi tebusannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya untuk mencari ridha Allah. Dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hambaNya”[17]
Memang benar, tidaklah menjadi fardlu ‘ain seorang muslimah turut serta dalam jihad dengan jiwa memerangi orang-orang kafir, akan tetapi status hukumnya adalah keutamaan (dengan tetap memperhatikan batasan-batasannya, seperti ada mahrom,  berhijab, aman dari fitnah dll), dan hanya dalam kondisi tertentu saja muslimah diwajibkan[18]. Akan tetapi, tidakkah hati kita tergerak untuk ikut serta di dalamnya? Sedangkan jihad adalah amalan yang tertinggi, pahala syahid yang Allah janjikan sangatlah menggiurkan, sedangkan telah banyak teladan sebelum kita yang telah memberikan contoh untuk kita?
Inilah dia Shofiyah binti Abdul Muthalib radliyallahu ‘anha, bibi Rasulullaah shalallahu ‘alaihi wa sallam, saudara kandung dari Hamzah bin Abdul Muthalib radliyallahu ‘anhu. Ia adalah seorang wanita mukminah yang telah berba’iat, juga mujahidah yang sabar. Betapa pemberaninya ia dalam keikutsertaan jihadnya bersama Rasulullah dalam perang Khandak, tatkala Yahudi berupaya melakukan penyerangan yang busuk terhadap pasukan wanita. Ia tak ragu untuk membunuh si Yahudi ini dengan tongkat dari kayu. Dialah, sebagaimana yang ia katakan, “wanita pertama yang membunuh seorang laki-laki”. Dia bahkan lebih berani dibandingkan kebanyakan para lelaki zaman ini.
Inilah ummu ‘umarah (Nasibah binti Ka’ab) radliyallahu ‘anha, prajurit yang beriman, di mana ia tak sedikit pun ragu untuk membela Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Uhud, di mana saat itu banyak dari para lelaki meninggalkan medan jihad karena rasa takut akan musuh. Ia tak segan membela Rasulullah dengan jiwanya, menebaskan padang pada musuh-musuh Allah meski dalam kondisi terluka. Kepadanyalah Rasullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Siapakah yang sanggup melakukan sebagaimana yang kau lakukan ini, wahai ummu ‘umarah?”.
Begitulah para shohabiyah radliyallahu ‘anhunna. Keimanan mereka, mereka buktikan dengan keikutsertaan dalam pembelaan terhadap dien ini dengan lisan, harta dan jiwa mereka. Karena sesungguhnya keimanan itu membutuhkan pembuktian. Dan kepada merekalah (shohabiyah), kita mengambil teladan, dan kepada merekalah kita bercermin.
Kita tidak melupakan keberanian Royyim ar Royaasyiy rahimahallah, muslimah Palestina, seorang istisyhadiah yang telah menjual dengan murah jiwanya di jalan Allah. Ia memberikan teladan yang sangat mengagumkan akan pengorbanan jiwa di jalan Allah. Ia telah meneruskan “garis keturunan” shofiyah dan ummu ‘umaroh dalam keberaniannya membela dien Islam.
Kita pun tak melupakan sosok Sana’ Al Muhaidily rahimahallah, pelaku istisyhadiyah di Libanon yang telah menewaskan kurang lebih 300 tentara kafir Amerika. Ia tak gentar, meskipun jiwanya melayang di jalan Allah. Alangkah mulianya engkau wahai Al Muhaidily. Sungguh, alangkah mulianya…
Tak ketinggalan pula, pengorbanan Nausyah Asy Syammary dan Waddad Ad Dulaimiy rahimahumullah di jalan Allah di bumi Iraq, yang sangat menawan hati dan penglihatan kita. Maka, adakah di antara kita yang mau mengambil pelajaran dari mereka ya ukhtiy?
Ukhtiy fillah, inilah peran-peran yang bisa kita sumbangkan dalam kancah jihad.
Dan satu peran lagi dalam rangka membantu mujahideen yang setiap orang dapat melakukannya, baik muda atau pun tua, baik kaya atau pun miskin, baik yang sudah memiliki anak maupun belum, baik yang sudah menikah atau pun belum…ia adalah do’a.
Kita harus mendoakan mujahideen agar mereka tetap teguh di atas jalan jihad, agar mereka dapat mengalahkan musuh-musuh mereka dengan pertolongan Allah, dan agar Allah menimpakan kecelakaan bagi musuh-musuhNya. Juga kita harus berdoa untuk mujahideen yang tertawan agar segera dibebaskan, untuk mujahideen yang terluka agar segera sembuh, untuk mujahideen yang gugur di medan jihad agar diterima sebagai syuhada’ dan berdoa untuk para pemimpin mereka. Demikian juga, kita harus mendoakan anak-anak dan keluarga mereka agar sabar, selamat dan terpelihara.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanjatkan doa qunut selama sebulan penuh untuk tiga orang shahabat yang tertawan di Mekkah. Kaum musyrikin Mekkah menyiksa mereka dan memaksa mereka untuk murtad. Di antara doa yang beliau panjatkan adalah, “Ya Allah, selamatkan Walid bin Walid, Salamah bin Hisyam dan ‘Ayyasy bi Abu Rabi’ah”[19].
Dan sesungguhnya “doa adalah senjata kaum muslimin”. Maka hendaklah berdoa di waktu-waktu mustajab, bersabar dan berhusnuzhan pada Allah bahwa Dia pasti akan mengabulkannya.
Sungguh demi Allah, sedikit apapun usaha kita dalam rangka membela dien Allah, dalam rangka membela syari’atNya, maka selama kita ikhlas tentu ada nilainya di sisi Allah. Maka usahakan apa saja yang kita bisa untuk membela dien Allah, untuk membela jihad dan mujahideen, untuk berpartisipasi dalam perjuangan ini. Karena sesungguhnya setiap pasar itu akan ada waktunya ditutup. Dan jika pasar jihad telah ditutup, maka pulanglah orang yang telah berpastisipasi dengan membawa keberuntungan, dan merugilah orang-orang yang hanya duduk-duduk saja tanpa ikut serta membantu.
Ukhtiy Muslimah, sungguh, ummat ini membutuhkan sosok-sosok teladan seperti mereka (para shahabiyyah radliyallahu ‘anhunna), yang tak ragu menawarkan dengan murah ruhnya di jalan Allah. Ummat ini membutuhkan sosok-sosok seperti mereka yang menyerahkan buah hatinya untuk dijadikan ‘tumbal’ fie sabilillah. Ummat ini membutuhkan sosok-sosok seperti mereka yang bersabar di atas jalan tauhid dan jihad, lagi berinfak fie sabilillah. Maka masih adakah alasan bagi kita—wahai ukhtiy—untuk tidak ikut serta dalam jihad ini?
Dan sungguh, dalam medan jihad saat ini, ummat ini belum mandul untuk melahirkan kstaria-ksatria wanita yang keberaniannya seperti mereka. Ummat ini belum mandul untuk menampilkan keberanian muslimah-muslimah dalam medan peperangan, juga belum kering rahim ummat ini untuk tetap melahirkan sosok-sosok teladan atas pengorbanan diri untuk dienullah.
Dan ummat ini tidaklah mandul untuk melahirkan kembali sosok-sosok shofiyah dan ummu ‘umarah, untuk melahirkan sosok seperti Al Khansa’ radliyallahu ‘anhuma, demi Allah tidak! Selamanya, generasi penerus shofiyah dan ummu ‘ummarah akan senantiasa ada, generasi penerus Khonsa’ akan senantiasa bermunculan, dengan atau tanpa keikutsertaan kita di dalamnya.
Referensi:
-          “39 Cara Membantu Mujahidin”, Syaikh Muhammad bin Ahmad As Salam
-          “Kado Untuk Mujahidah”, softcopy terbitan Al Qoidun Group
-          “Nasihat-nasihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam; Penawar Lelah Pengemban Dakwah”, Syaikh ‘Abdullah ‘Azzam rahimahullah
-          “Sirah Shahabiyah”, Syaikh Mahmud Mahdi Al Istambuli Musthafa Abu Nashr Asy Syalabi
=============
[1] An Nisa : 124
[2] HR. Bukhori
[3] Penjelasan jihad saat ini telah menjadi fardlu ‘ain telah banyak dijabarkan oleh para ulama’ yang hanif dalam kitab-kitab mereka, di antaranya; Al ‘Umdah Fie I’dadil ‘Uddah karya syaikh ‘Abdul Qodir bin ‘Abdul ‘Aziz, Ad Difa’ ‘An ‘Arodhil Muslimin Ahammu Furudhil A’yan karya syaikh ‘Abdullah ‘Azzam, Qooluu Fa Qul ‘Anil Jihad karya Harits Abdus Salam al Mishry, dan kitab-kitab lainnya.
[4] An Nisa’ : 84
[5] Al Anfal : 65
[6] Kado Untuk Mujahidah, softcopy terbitan “Al Qho’iduun group”.
[7] At Tawbah : 38
[8]  As Saff : 14
[9] Al Baqarah : 195
[110 At tawbah : 41 ;  At Tawbah : 20 ; Al Anfal : 72 ; Al Anfal : 74 dan lain-lain.
[11] Dari “39 cara membantu mujahidin”, Muhammad bin ahmad as salam.
[12] Yaitu At Tawbah : 111
[13] HR. Ibnu Majah dari Zaid bin Khalid
[14] HR. Muskim dan Abu Dawud dari Abu Sa’id
[15] QS. At Taubah : 60
[16] HR. Bukhori
[17] Al Baqoroh : 207
[18] Lihat penjelasan dalil-dalinya dalam kitab “Al ‘Umdah Fie I’dadil ‘Uddah” karya syaikh ‘Abdul Qodir bin ‘Abdul ‘aziz dan kitab “Fie Zhilali Surati At Tawbah” karya syaikh ‘Abdullah ‘Azzam rahimahullah dan kitab-kitab berkenaan jihad lainnya.
[19] HR. Bukhori, HR. Muslim, HR. Abu Dawud, dan HR. An Nasa’i dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu.
ditulis oleh Ummu Fathin

Ketika istri ingin berbisnis

Di era globalisasi, dimana mobilitas manusia tidak lagi dibatasi dimensi ruang dan waktu, peluang bisnis bagi Muslimah bukanlah hal sulit untuk dicapai. Terlebih, dengan meningkatnya para pengguna dan peminat jejaring social semacam facebook, twitter atau bahkan Blackberry, makin mempermudah dalam bidang pemasaran untuk bisnis, terutama bagi Muslimah.

Hal itu dikarenakan, ‘usaha dan pemasaran online’ tidak menuntut bagi seorang muslimah pebisnis untuk harus keluar rumah menjajakan dagangannya. Sekarang, kita hanya tinggal membuat promosi online dan ‘menyebarnya’ di blog, website, atau bahkan di status jejaring social, kita hanya tingga lmenunggu, m embiarkan ‘program internet melakukan tugasnya’.
Semudah itu. tinggal klik dan klik. Tanpa perlu berganti baju atau melangkahkan kaki keluar rumah. Semudah itu pul akita sebagai Muslimah bisa menjadi pebisnis tanpa takut melanggar syariat Allah.
Namun, kemudahan teknologi tersebut tidak lantas membuat para Muslimah berbondong-bondong terjun ke dunia bisnis. Banyak alasan yang melekat dalam benak mereka. Diantaranya, alasan paling klasik tentu saja adalah paradigma bahwa perempuan (ibu) harus bertugas mengurus rumah tangga. Dan para suamilah yang bertugas untuk mencukupi nafkah istri dan anak-anak. Nah, bisnis adalah identik dengan mencari nafkah. Jadi korelasinya, berbisnis tentu saja adalah bagian dari tugas para suami.
Alasan berikutnya, kekhawatiran bahwa para ibu akan terpecah konsentrasinya dalam mengurus rumah tangga, terutama dalam mendidik anak-anak. Artinya, seorang ibu seringkali merasa tidak fokus pada pengabdiannya dalam rumah tangga, jika harus terjun dalam kegiatan-kegiatan lain, termasuk berbisnis.
Alasan-alasan lain yang cukup mudah ditemukan adalah ketiadaan modal, merasa tidak mampu, tidak punya pengalaman, yang hampir rata-rata alasan itu berasal dari dalam diri seorang perempuan itu sendiri.
Pebisnis Muslimah di era Rasulullah
Kisah luar biasa dapat kita simak pada Asma’ binti Abu Bakar. “Zubeir menikahiku sedangkan dia tidak memiliki apa-apa kecuali kudanya. Akulah yang mengurusnya dan memberinya makan, dan aku pula yang mengairi pohon kurma, mencari air dan mengadon roti. Aku juga mengusung kurma yang dipotong oleh Rasulullah dari tanahnya Zubeir yang aku panggul di atas kepalaku sejauh dua pertiga farsakh (kira-kira 2 km).
Pada suatu hari tatkala saya sedang mengusung kurma di atas kepala, saya bertemu dengan Rasulullah bersama seseorang. Beliau bersabda, “ikh…ikh…” (ucapan untuk menghentikan kendaraan) dengan maksud agar aku naik kendaraan di belakangnya. Namun, saya merasa malu dan saya ingat Zubeir dan rasa cemburunya, maka beliau berlalu. Tatkala saya sampai di rumah, aku kabarkan hal itu kepada Zubeir lalu dia berkata, ”Demi Allah, engkau mengusung kurma tersebut lebih berat bagiku daripada engkau mengendarai kendaraan bersama beliau.”
Apa yang dilakukan Asma’ memperlihatkan bahwa sebagai seorang istri, ia rela melakukan hal-hal yang seharusnya dikerjakan oleh suaminya. Dan yang paling penting, ia tetap menjaga kehormatan suaminya. Suatu hal yang mungkin secara logis tidak bisa diterima pada kehidupan masa kini. Betapa banyak dari kaum perempuan (istri) yang memiliki pendapatan lebih banyak dari suami dan akhirnya kurang memuliakan suami.
Satu lagi sosok pengusaha sukses di era Rasulullah, Khadijah sudah pasti melekat di benak kita. Keberadaannya mendampingi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) di masa-masa sulit rasanya tak terbayangkan dalam benak kita. Sejak sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Khadijah telah dikenal sebagai wanita pebisnis.
Bahkan setelah menikah pun, beliau masih tetap berbisnis, meskipun Rasulullah SAW pastinya juga menafkahinya sebagai kewajiban suami. Namun, penghasilan dari bisnisnya itu digunakan Khadijah untuk mengembangkan dakwah Rasulullah SAW. Bahkan beliau menjadi penyandang dana dakwah utama pada masa-masa sulit.
Jadikan Hobi sebagai Peluang Usaha
Banyak dari kita, yang ketika keinginan untuk berbisnis itu muncul justru malah bingung menentukan bisnis apa. Padahal, jika dicermati, banyak sekali kegiatan sehari-hari yang bisa dikembangkan. Memasak misalnya. Pekerjaan tiap hari yang dilakukan seorang ibu ini tentu saja memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Berawal dari niat mulia seorang ibu untuk membuatkan jajanan sehat namun hemat bagi putra-putrinya, hal ini tentu saja menjadi sebuah peluang yang bisa dimanfaatkan.
Atau kegiatan mencuci. Jika ada mesin cuci, bagaimana jika sekalian saja membuat laundry. Ya…hitung-hitung, pemasukan yang didapat bisa membantu membayar rekening listrik bulanan. Atau bercocok tanam di pekarangan,  menulis, bahkan memijat. Luar biasa, potensi-potensi yang ada di sekitar kita.
Namun senang atau suka saja tidak cukup untuk bisa mengembangkan bisnis. Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui sebelum benar-benar mengembangkan hobi kita menjadi sebuah bisnis.
Pertama, professional. Suka saja tidak cukup. Kita harus ahli di bidang tersebut. Artinya, kita harus senantiasa mengasah kemampuan kita berkaitan dengan hobi tersebut. Karena kalau sudah berurusan dengan konsumen atau pelanggan, kita dituntut untuk professional. Untuk menjadi professional, tidak harus mengeluarkan dana banyak di awal. Hal tersebut bisa kita dapatkan dari membaca buku, atau sharing ‘ilmu’ dari teman-teman yang sudah berpengalaman. Namun, jika memang ada dana bisa juga kita gunakan untuk mengikuti kursus agar lebih mantap.
Kedua, banyak peluang di sekitar kita. Banyak orang merasa ragu ketika akan berbisnis. Ada kekhawatiran apakah produknya atau jasanya nanti akan laku atau tidak. Yang kita perlukan berikutnya adalah survey alias menjajaki potensi pasar. Lakukan survei kecil-kecilan terhadap teman-teman kita. Benarkah produk yang kita tawarkan betul-betul mereka butuhkan. Kalau tidak, maka kira-kira apa yang mereka butuhkan. Ajaklah teman-teman berbicara, dan temukanlah peluang itu di sana.
Ketiga, bergabunglah dengan komunitas yang sejenis dengan bisnis pilihan kita. Ini sangat penting pengaruhnya. Keberadaan komunitas sangat membantu kita untuk mendapat relasi bisnis dan info-info terbaru terkait dengan seluk beluk bisnis yang kita geluti. Komunitas seperti ini cukup banyak ada di sekitar kita saat ini.
Keempat, promosi, promosi, dan promosi. Setelah menemukan produk yang yakin untuk melakukannya, maka yang harus kita lakukan berikutnya adalah promosi, promosi, dan promosi. Seperti yang diutarakan pada paragraf pertama tulisan ini, ‘dunia online’ adalah sarana untuk mempermudah promosi bisnis kita. Manfaatkan situs jejaring sosial, blog, juga website gratis untuk promosikan produk kita.
Jika promosi dilakukan ‘secara nyata’ atau face to face, mulailah dari teman-teman sendiri. Lalu berkembanglah ke sesama orangtua ketika kita menjemput anak-anak di sekolah. Percayalah, sekali saja pelanggan puas dengan pelayanan kita, mereka akan kembali lagi membawa pelanggan baru. Insya Allah.
Jangan lupa manajemen waktu
Bukanlah hal yang mudah ketika kita harus mengurus rumah tangga, mengurus anak-anak, ditambah lagi mengurus bisnis. Sebagai ibu, kita harus pandai-pandai mengatur waktu, termasuk waktu untuk beristirahat untuk kita sendiri. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kita mendapat masukan dari orang-orang terdekat, maka kita akan terbantu dalam banyak hal.
Satu hal yang sangat mendasar untuk difahami para ibu yang ingin terjun di dunia bisnis, bahwa apa yang kita lakukan ini bukanlah untuk “gagah-gagahan”. Jika kemudian usaha ini menjadi besar dan apa yang kita dapatkan melebihi pemberian suami, maka tetaplah menjaga keridhaannya. Insya Allah, apa yang kita lakukan menjadi amal saleh. Selain itu, hal ini akan sangat bermanfaat jika terjadi hal-hal di luar dugaan. Saat suami meninggal, misalnya. (dbs/rasularasy/arrahmah.com)

karateristik wanita sholihah

Oleh Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman
Wanita Shalihah (isteri shalihah) merupakan sebaik-baik dan semulia-mulia gelar yang diberikan kepada wanita kekasih Allah. Titel atau gelar itu bukan sekadar nama dan kebanggaan, tetapi dia adalah buah dari satu perjuangan panjang dalam kehidupan seorang wanita. Masyarakat Muslim diingatkan, supaya waspada terhadap khadra’uddiman, yaitu wanita cantik yang tumbuh dewasa di tempat yang buruk.

BANYAK wanita mendambakan titel itu, tetapi sangat sedikit yang sampai kepada tujuan yang dirindukan. Sebab, perjalanan panjang yang harus ditempuh oleh seorang wanita meng-haruskannya melalui jalan yang terjal, berkelok, ber-batu, naik bukit dan turun gunung, penuh onak dan duri. Kenanglah sejenak perjalanan hidup para pemimpin wanita ahli sur-ga, yaitu sebaik-baik wa-nita sebagaimana sabda Rasulullah Saw berikut ini.
“Sebaik-baik wanita ialah Maryam binti Imran dan sebaik-baik wanita ialah Khadijah binti Khuwailid.” (HR. Bukhari Muslim).  Dari Abu Musa ra. berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Lelaki yang sempurna ba-nyak, tetapi tidak demikian halnya bagi wanita kecuali Asiah istri Fir’aun dan Mar-yam binti Imran. Dan sesung-guhnya keutamaan Aisyah atas wanita lainnya seperti ke-utamaan tsarid (lauk yang berminyak) atas makanan lainnya.” (HR. Bukhari).  Nabi Saw bersabda: “Fati-mah adalah pemimpin wa-nita ahli surga”. (HR. Bukhari)
Kesemua wanita yang disebut di dalam hadits-hadits di atas, yang diberi gelar sebagai sebaik-baik wanita ahli surga (Mar-yam, Asiah, Khadijah, Aisyah dan Fatimah) ada-lah wanita-wanita yang perjalanan hidupnya pe-nuh dengan ujian dan tan-tangan. Mereka ditimpa banyak musibah dan bala bencana, baik dalam urusan keluarga, masya-rakat dan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Na-mun mereka tidak ber-geming dari keimanan dan ketaatan kepada Allah Swt.

Apakah ciri dan karakter yang dimiliki da-lam menjalankan ke-hidupan sehari-hari, se-hingga dengan tegar ber-tahan dari segala amuk duniawi, dan mendapat-kan gelar mulia se-bagai wanita/istri shalihah? Se-cara umum dijelaskan di dalam al-Qur’an, Allah Swt berfirman:|
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wa-nita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[ ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (Qs. An Nisaa’ 4: 34)
 Inilah ayat yang me-nerangkan secara terpe-rinci tentang ihwal kaum wanita dalam ke-hidupan rumah tangga yang berada di bawah ke-pemimpinan kaum pria. Disebutkan bahwa ada dua jenis wa-nita: yang shalihah dan yang tidak shalihah. Lalu ciri shalihah antara lain adalah taat, yaitu taat ke-pada Allah Swt, kepada Rasul Nya dan taat kepada suami. Selain itu dia betah tinggal di rumah, bersikap ma’ruf kepada suami dan menjaga kehormatan diri di saat suaminya tidak ada di rumah.
Ats-Tsauri dan Qata-dah mengatakan: Arti menjaga kehormatan diri di saat suami tidak ada di rumah adalah menjaga segala sesuatu yang mesti dipelihara, baik berkenaan dengan kehormatan diri maupun harta. Sementara itu Ibnu Jarir dan al-Baihaqi meriwayatkan ha-dits dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi Saw bersabda:
“Sebaik-baik wanita adalah yang menawan hati-mu bila engkau pandang, taat manakala engkau perintah, dan menjaga hartamu serta memelihara kehormatan diri-nya ketika engkau tidak ada di rumah.” Kemudian Rasulullah Saw. membaca ayat tersebut di atas. (Qs. An Nisaa’ 4: 34).
Syeikh Muhammad Abduh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menjaga kehormatan diri di sini adalah menutup apa yang dapat membuat malu ketika diperlihatkan atau diungkapkan. Artinya, menjaga segala sesuatu yang secara khusus berke-naan dengan rahasia suami istri, serta tidak menceritakan rahasia su-aminya kepada siapa-pun kecuali kepada orang yang benar-benar dipercaya ka-rena ingin mencari solusi keruwetan rumah tangga.
Secara syar’i, yang juga bisa dikategorikan da-lam hal ini adalah keha-rusan merahasiakan se-gala sesuatu yang berkait-an dengan hubungan intim suami istri, termasuk di da-lamnya menceritakan hal-hal yang tidak senonoh. Jangan seperti khadrau’ud-diman, seperti yang sering ditayangkan infotainment tv, mengumbar segala au-rat keluarga sehingga o-rang jijik mendengarnya.
Apatah lagi bila sam-pai ke bentuk-bentuk peri-laku yang mereka laksana-kan sebagai pasangan sua-mi isteri yang tidak layak didengar oleh selain me-reka. Selain itu juga dapat difahami bahwa ungkapan yang disebut oleh al-Qur-’an di atas, merupakan salah satu ungkapan yang memiliki arti kiasan yang amat mendalam: meng-hentak kaum wanita yang keras hati, namun bisa di-fahami rahasianya oleh mereka yang berhati lembut.
Kaum wanita me-mang memiliki naluri yang demikian lembut, dimana anda sekalian bisa mene-robos hati mereka hanya dengan menyentuh ujung jarinya saja. Jantung me-reka memiliki nadi-nadi peka yang segera memom-pakan darah ke raut wajah mereka manakala mene-rima rangsangan.
Maka tidak dibenar-kan menghubungkan lang-sung kalimat hifzhul ghaib (menjaga harta dan kehor-matan diri) dengan kalimat bima hafizhallah (sebagai-mana Allah menjaga diri-nya). Sebab perpindahan yang demikian drastis dari penuturan rahasia diri yang tersembunyi ke arah penuturan penjagaan Allah yang demikian jelas memalingkan seseorang untuk berfikir secara ber-kepanjangan tentang hal-hal yang berada di balik tabir-tabir rahasia pribadi suami istri. Yakni, hal-hal yang tersembunyi dan rahasia, untuk dialihkan pada pengawasan Allah Azza wajalla.
Penghormatan yang diberikan kepada kaum wanita melalui kesaksian Allah tersebut di atas, di-maksudkan agar mereka tetap terjaga dari jamahan tangan-tangan kotor, pan-dangan mata jahil, atau pergunjingan, di saat sua-mi mereka tidak berada di rumah, melalui bujukan, rayuan berupa lembaran-lembaran uang, mobil mewah, rumah indah atau beberapa kerat roti.
Jadi, wanita-wanita shalihah ialah wanita yang menjaga harta dan kehor-matan dirinya ketika su-aminya tidak di rumah, sebagaimana Allah telah menjaga mereka. Itulah yang menjadi sifat shalihah kepada mereka. Sebab se-orang wanita yang sha-lihah akan selalu men-dapat pengawasan dari Allah Swt, dan ketakwaan yang mereka miliki me-nyebabkan mereka bisa menjadi wanita-wanita yang terpelihara dari sifat khianat dan mampu men-jaga amanat.
Oleh karena itulah yang dimaksud dengan Wanita Shalihah dalam ayat di atas adalah mereka yang selalu taat kepada Allah Swt, Rasul Nya, suaminya dan tidak mem-perturutkan hawa nafsu-nya dalam hidup harian-nya. Apabila dikaitkan arti ayat yang disebutkan di atas tepat sekali untuk menggambarkan ihwal kaum wanita masa kini yang senang membeberkan rahasia-rahasia rumah tangga sendiri, atau rumah tangga orang lain (gosip wanita sinetron) dan tidak bisa menjaga harta dan kehormatan dirinya mana-kala suami mereka tidak berada di rumah bukanlah termasuk dalam koridor wanita shalihah.
Jangan seperti khad-rau’uddiman, seperti yang sering ditayangkan infotai-ment tv, mengumbar segala aurat keluarga sehingga orang jijik mendengarnya. Jika diamati dengan seksa-ma keterangan diatas, ma-ka dapat disimpulkan bah-wa isteri yang shalihah mempunyai karakter se-bagai berikut:



1. Menaati  Allah dan Rasul Nya

Dengan ketaatannya itulah sebagai aset terbesar baginya untuk meraih ganjaran tertinggi sebagai buah dari ilmu dan iman-nya. Yaitu surga yang pe-nuh dengan kenikmatan, dia kekal didalamnya se-lama-lamanya. Allah Swt. berfirman:|
(Hukum-hukum ter-sebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang-siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah me-masukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (Qs. An Nisaa’, 4: 13)
 Firman Allah lagi: “Dan barangsiapa yang men-taati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sa-ma dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. An Nisaa’, 4: 69)
 Abu Hurairah ra ber-kata, Rasulullah Saw ber-sabda: “Semua ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan (tidak mau). Pa-ra sahabat bertanya: Siapa-kah yang enggan itu wahai Rasulullah? Beliau men-jawab: Barang siapa yang ta’at kepadaku (mengikuti Sunnahku), dialah yang akan masuk surga, dan barang siapa yang mendurhakaiku, maka dialah yang yang enggan masuk surga.” (HR Bukhari)

 Maka demikian pula seorang wanita atau isteri, dia akan masuk surga de-ngan menaati Allah dan Rasul-Nya dengan se-benar-benarnya.



2. Menaati Suami

Ketaatan kepada su-aminya merupakan pin-tu keselamatan baginya un-tuk meraih kenikmatan yang kekal dan abadi di surga. Rasulullah Saw bersabda:

“Jika seorang isteri itu telah menunaikan shalat lima waktu, dan shaum (puasa) di bulan Ramadhan, dan men-jaga kemaluannya dari yang haram serta taat kepada suaminya, maka akan di-persilakan: masuklah ke surga dari pintu mana saja kamu suka.” (HR. Ahmad)
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwasa-nya Asma datang kepada Nabi dan berkata: Sesung-guhnya aku adalah utusan dari kaum wanita Muslim, semua mereka berkata dan berpendapat sebagaimana aku Wahai Rasulullah, se-sungguhnya Allah telah mengutusmu kepada laki-laki dan wanita, kami telah beriman kepadamu dan mengikutimu, (namun) ka-mi kaum wanita merasa dibatasi dan dibelenggu. Padahal kamilah yang me-nunggu rumah mereka, tempat menyalurkan nafsu mereka, kamilah yang mengandung anak-anak mereka, sedang mereka dilebihkan dengan sholat berjamaah, menyaksikan jenazah dan berjihad di jalan Allah.
Dan apabila mereka ke luar berjihad, kamilah yang menjaga harta me-reka dan kamilah yang me-melihara anak-anak me-reka, maka apakah kami tidak mendapatkan bagian pahala mereka wahai Rasulullah? Maka ber-palinglah Rasulullah ke-pada para sahabatnya dan bertanya: Apakah tadi ka-mu sudah mendengar pertanyaan sebaik itu dari seorang perempuan ten-tang agamanya? Mereka menjawab: Ya, Demi Allah wahai Rasulullah, kemu-dian beliau bersabda: Pergilah engkau wahai Asma dan beritahukanlah kepada wanita-wanita yang mengutusmu bahwa layanan baik salah seorang kamu kepada suaminya, meminta keridhaannya dan menuruti kemauannya menyamai (pahala) amal-an laki-laki yang engkau sebutkan tadi. Maka Asma pun pergi sambil bertahlil dan bertakbir karena gem-biranya dengan apa yang diucapkan Rasulullah ke-padanya. (Al Istii’aab, Ibnu ‘Abd al Bar)
Dari Ibnu Abbas ra ia berkata, wakil wanita ber-kata:“Wahai Rasulullah, saya wakil dari kaum wanita untuk berjumpa denganmu. Sesungguhnya jihad hanya diwajibkan atas kaum laki-laki saja, sekiranya mereka menang mereka memperoleh pahala dan sekiranya mereka terbunuh, maka mereka senantiasa hidup dan diberi rizki di sisi Rabb mereka. Sedangkan kami golongan wanita menjalankan tugas (berkhidmat) untuk mereka, maka adakah bagian kami dari yang tersebut? Maka Rasulullah menjawab, Sam-paikanlah kepada siapa saja dari kaum wanita yang eng-kau temui, bahwa taat kepada suami dan mengakui hak sua-mi adalah menyamai yang demikian itu, dan amat sedikitlah di antara kamu yang mampu melaksana-kannya.” (HR al Bazzar)

 
3. Melayani Suami


Sebagian isteri sangat taat kepada suaminya, tapi kurang pandai melayani suami dengan sebaik-baik-nya. Maka jika taat kepada suami dan pandai me-layaninya, hal itu merupa-kan kemuliaan tersendiri yang mengangkat derajat-nya meraih keselamatan di dunia dan akhirat.

Ummu Salamah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Tiap-tiap isteri yang mati diridhai oleh suaminya, maka ia akan masuk surga.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dari Abdullah bin Abi Aufa ia berkata, Mu’adz di-utus ke Yaman atau Syam dan dia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada pembesar-pem-besar dan kepada pendeta-pendetanya. Maka beliau berkata dalam hatinya sesungguhnya Rasulullah lebih layak untuk di-agungkan (daripada me-reka). Maka tatkala ia da-tang kepada Rasulullah ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat orang-orang Nashrani bers-ujud kepada pembesar-pem-besar dan kepada pendeta-pendetanya, dan aku berkata dalam hatiku sesungguhnya engkaulah yang lebih layak untuk diagungkan (daripada mereka) lalu beliau bersabda: Andaikata aku boleh meme-rintahkan seseorang bersujud kepada seseorang, maka sung-guh akan kuperintahkan isteri bersujud kepada suami-nya dan seorang isteri belum dikatakan menunaikan kewajibannya terhadap Allah sehingga menunaikan ke-wajibannya terhadap suami seluruhnya, sehingga andai-kan (suaminya) memerlu-kannya di atas kendaraan, sungguh ia tidak boleh me-nolaknya. (HR Ahmad)
4. Menjaga  Kehormatan Diri

Ciri keempat inilah yang merupakan kunci dari keshalihan seorang isteri yang berada di bawah pengawasan suaminya yang shalih. Lelaki yang memiliki isteri dengan ka-rakteristik seperti ini ber-arti telah memiliki harta simpanan yang terbaik.
Dari Abu Umamah ra, dari Nabi Saw beliau ber-sabda: “Tidak ada yang paling bermanfaat bagi se-orang (lelaki) Mukmin se-su-dah bertaqwa kepada Allah daripada memiliki isteri yang shalihah, yaitu jika ia di-perintah ia taat, jika ia dipan-dang menye-nangkan hati, dan jika ia digilir ia tetap ber-buat baik, dan jika ia diting-galkan (suaminya) ia tetap menjaga suaminya dalam hal dirinya dan harta suaminya.” (HR Ibnu Majah)
Dari Ibn Abbas ra Rasulullah Saw bersabda: “Ada empat perkara siapa yang memilikinya berarti mendapat kebaikan di dunia dan akhirat, yaitu hati yang bersyukur, lisan yang selalu berzikir, tubuh yang bersabar ketika ditimpa bala bencana (musibah) dan isteri yang ti-dak menjerumuskan suami-nya dan merusakkan harta bendanya.” (HR Thabrani dengan isnad Jayyid).

Wanita paling baik ada-lah wanita (isteri) yang apabila engkau meman-dangnya menggembirakan-mu, apabila engkau menyu-ruhnya dia pun menaati, dan apabila engkau pergi dia juga memelihara dirinya dan menjaga hartamu. (HR Abu Dawud. Derajat hadits oleh al Hakim dinyatakan shahih).
Semoga para akhwat mampu memiliki karakter tersebut sehingga melayak-kannya mendapat pahala yang telah dijanjikan Allah Swt. Mereka menjadi par-tner dalam perjuangan fi sabilillah, dan menjadi pendamping setia dikala suka dan duka bersama suami yang dicintainya. Amien Ya Rabbal Alamin.
 
Niswah

http://www.arrahmah.com
The State of Islamic Media

Wanita Yang Mendapat Pujian Dan Wanita Yang Dilakanat Allah

Sejarah telah mencatat beberapa nama wanita terpandang yang di antara mereka ada yang dimuliakan Allah dengan surga, dan di antara mereka ada pula yang dihinakan Allah dengan neraka. Karena keterbatasan tempat, tidak semua figur bisa dihadirkan saat ini, namun mudah-mudahan apa yang sedikit ini bisa menjadi ibrah (pelajaran) bagi kita.

Wanita Yang Beriman
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Seutama-utama wanita ahli surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran dan Asiyah binti Muzahim.” (HR. Ahmad)
1. Khadijah binti Khuwailid
Dia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang terhormat sehingga mendapat tempaan akhlak yang mulia, sifat yang tegas, penalaran yang tinggi, dan mampu menghindari hal-hal yang tidak terpuji sehingga kaumnya pada masa jahiliyah menyebutnya dengan ath thahirah (wanita yang suci).
Dia merupakan orang pertama yang menyambut seruan iman yang dibawa Muhammad tanpa banyak membantah dan berdebat, bahkan ia tetap membenarkan, menghibur, dan membela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat semua orang mendustakan dan mengucilkan beliau. Khadijah telah mengorbankan seluruh hidupnya, jiwa dan hartanya untuk kepentingan dakwah di jalan Allah. Ia rela melepaskan kedudukannya yang terhormat di kalangan bangsanya dan ikut merasakan embargo yang dikenakan pada keluarganya.
Pribadinya yang tenang membuatnya tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan mengikuti kebanyakan pendapat penduduk negerinya yang menganggap Muhammad sebagai orang yang telah merusak tatanan dan tradisi luhur bangsanya. Karena keteguhan hati dan keistiqomahannya dalam beriman inilah Allah berkenan menitip salamNya lewat Jibril untuk Khadijah dan menyiapkan sebuah rumah baginya di surga.
Tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, ia berkata:

Jibril datang kepada Nabi kemudian berkata: Wahai Rasulullah, ini Khadijah datang membawa bejana berisi lauk pauk, makanan dan minuman. Maka jika ia telah tiba, sampaikan salam untuknya dari Rabbnya dan dari aku, dan sampaikan kabar gembira untuknya dengan sebuah rumah dari mutiara di surga, tidak ada keributan di dalamnya dan tidak pula ada kepayahan.” (HR. Al-Bukhari).
Besarnya keimanan Khadijah pada risalah nubuwah, dan kemuliaan akhlaknya sangat membekas di hati Rasulullah sehingga beliau selalu menyebut-nyebut kebaikannya walaupun Khadijah telah wafat. Diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah hampir tidak pernah keluar dari rumah sehingga beliau menyebut-nyebut kebaikan tentang Khadijah dan memuji-mujinya setiap hari sehingga aku menjadi cemburu maka aku berkata: Bukankah ia seorang wanita tua yang Allah telah meng-gantikannya dengan yang lebih baik untuk engkau? Maka beliau marah sampai berkerut dahinya kemudian bersabda: Tidak! Demi Allah, Allah tidak memberiku ganti yang lebih baik darinya. Sungguh ia telah beriman di saat manusia mendustakanku, dan menolongku dengan harta di saat manusia menjauhiku, dan dengannya Allah mengaruniakan anak padaku dan tidak dengan wanita (istri) yang lain. Aisyah berkata: Maka aku berjanji untuk tidak menjelek-jelekkannya selama-lamanya.”
2. Fatimah
Dia adalah belahan jiwa Rasulullah, putri wanita terpandang dan mantap agamanya, istri dari laki-laki ahli surga yaitu Ali bin Abi Thalib.

Dalam shahih Muslim menurut syarah An Nawawi Nabi bersabda: “Fathimah merupakan belahan diriku. Siapa yang menyakitinya, berarti menyakitiku.”
Dia rela hidup dalam kefakiran untuk mengecap manisnya iman bersama ayah dan suami tercinta. Dia korbankan segala apa yang dia miliki demi membantu menegakkan agama suami.
Fathimah adalah wanita yang penyabar, taat beragama, baik perangainya, cepat puas dan suka bersyukur.


3. Maryam binti Imran

Beliau merupakan figur wanita yang menjaga kehormatan dirinya dan taat beribadah kepada Rabbnya. Beliau rela mengorbankan masa remajanya untuk bermunajat mendekatkan diri pada Allah, sehingga Dia memberinya hadiah istimewa berupa kelahiran seorang Nabi dari rahimnya tanpa bapak.


4. Asiyah binti Muzahim

Beliau adalah istri dari seorang penguasa yang lalim yaitu Fir’aun laknatullah ‘alaih. Akibat dari keimanan Asiyah kepada kerasulan Musa, ia harus rela menerima siksaan pedih dari suaminya. Betapapun besar kecintaan dan kepatuhannya pada suami ternyata di hatinya masih tersedia tempat tertinggi yang ia isi dengan cinta pada Allah dan RasulNya. Surga menjadi tujuan akhirnya sehingga kesulitan dan kepedihan yang ia rasakan di dunia sebagai akibat meninggalkan kemewahan hidup, budaya dan tradisi leluhur yang menyelisihi syariat Allah ia telan begitu saja bak pil kina demi kesenangan abadi. Akhirnya Asiyah meninggal dalam keadaan tersenyum dalam siksaan pengikut Fir’aun.
Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata:

“Fir’aun memukulkan kedua tangan dan kakinya (Asiyah) dalam keadaan terikat. Maka ketika mereka (Fir’aun dan pengikutnya) meninggalkan Asiyah, malaikat menaunginya lalu ia berkata: Ya Rabb bangunkan sebuah rumah bagiku di sisimu dalam surga. Maka Allah perlihatkan rumah yang telah disediakan untuknya di surga sebelum meninggal.”
Wanita yang durhaka
1. Istri Nabi Nuh

2. Istri Nabi Luth
Mereka merupakan figur dua orang istri dari para kekasih Allah yang tidak sempat merasakan manisnya iman. Hatinya lebih condong kepada apa yang diikuti oleh orang banyak daripada kebenaran yang dibawa oleh suaminya. Mereka justru membela kepentingan kaumnya karena tidak ingin dimusuhi dan dibenci oleh orang-orang yang selama ini mencintai dan menghormati dirinya. Maka kesenangan sesaat ini Allah gantikan dengan kebinasaan yang didapat bersama kaumnya. Istri Nabi Nuh ikut tenggelam oleh banjir besar bersama kaumnya yang menyekutukan Allah dengan menyembah patung-patung orang shalih, sedangkan istri Nabi Luth ditelan bumi karena adzab Allah atas kaumnya yang melakukan liwath (homoseksual).
Semua cerita ini telah Allah rangkum dalam sebuah firmanNya yang indah dalam surat At-Tahrim ayat 10-12, yang artinya: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah: dan dikatakan (kepada keduanya) : Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka). Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisimu dalam Surga. Dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dhalim. Dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehor-matannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitabnya dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.”
Semoga kisah para wanita ini bisa menjadi pelajaran bagi para wanita zaman ini untuk berkaca diri, kira-kira saya termasuk golongan yang mana? Apakah golongan yang dicintai Allah atau yang dimurkaiNya?
Bagi wanita yang belum berumah tangga, saat ini merupakan kesempatan besar baginya untuk memperbanyak amalan shalih dan mendekatkan diri pada Allah, bukannya justru menghabiskan masa mudanya dengan hura-hura dan kegiatan lain yang tidak bermanfaat. Dan bagi mereka yang sudah berumah tangga, selain menjaga keistiqomahannya dalam berIslam dia juga diberi beban tambahan oleh Allah untuk membantu suami menjalankan agamanya. Istri yang demikian meru-pakan harta yang paling berharga.
Dari kisah mereka, kita juga bisa mengambil pelajaran bahwa dalam keadaan bagaimanapun, hendaknya ketundukan kepada syariat Allah dan RasulNya harus tetap di atas segala-galanya. Asalkan berada di atas kebenaran, kita tidak perlu takut dibenci oleh masyrakat, sahabat, maupun orang yang paling istimewa di hati kita. Justru kewajiban kita adalah menunjukkan yang benar kepada mereka. Dengan begitu kita akan mendapatkan cinta sejati .. cinta Allah Rabbul ‘alamin.
Mudah-mudahan kita selalu diberi keistiqomahan untuk menapaki dan mengamalkan syariat yang haq (benar) walaupun kita seorang diri. Amin.
Maraji’:

1. Ahkamun Nisa’, Ibnul Jauzi.

2. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Atsqalani.

3. Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri.

4. Wanita-wanita Shalihat Dalam Lintas Sejarah Islam, Muhyidin Abdul Hamid.
*Gambar Ilustrasi

Istri yang baik

Sangat penting bagi seorang laki-laki untuk mengerti kualitas dan sifat-sifat seorang wanita sebelum dia dipertimbangkan sebagai seorang istri.

Dilaporkan dalam Musnad Imam Ahmad, dari Sa’ad bin Abi Waqqas Radliallahu Anhu, bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Tiga sebab kebahagiaan anak Adam dan tiga hal penyebab penderitaan. Penyebab kebahagiaan anak Adam adalah : (1) Istri yang baik, (2) Rumah yang bagus dan (3) Kendaraan yang bagus. Hal yang menyebabkan menderita : Istri yang jelek, rumah yang buruk dan kendaraan yang buruk.”
Dilaporkan juga dalam Shahih al-Jaami’ bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Empat hal yang menyebabkan kebahagiaan: (1) Istri yang baik, (2) Rumah yang bagus, (3) Tetangga yang baik, dan (4) Kendaraan yang bagus. Empat hal yang menyebabkan menderita: Istri yang buruk, tetangga yang buruk, kendaraan yang jelek dan rumah yang sempit/kecil.”
Sangat penting dan perlu atas seorang laki-laki untuk melihat seorang wanita yang bisa menjadi istri yang baik dan ibu yang baik bagi anak-anaknya (di masa depan). Dalam hadits lain diriwayatkan bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Dunia (hidup di dunia ini) adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan di dunia ini adalah istri yang baik (sholehah).” (Shahih Muslim, Kitab 14, Bab 17, Hadits No. 1467)
Saat ini sangat sulit untuk menemukan istri yang baik karena dia merupakan harta benda yang jarang ditemukan. Diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dari Ibnu ‘Abbas Radliallahu Anhu, bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam ditanya oleh Umar bin al-Khattab Radliallahu Anhu:
“Akan aku informasikan kepadamu harta benda yang terbaik yang bisa seseorang dapatkan, yaitu istri yang baik (shalehah). Ketika dia (suaminya) melihatnya dia akan membuatnya senang dan ketika dia diperintah maka akan patuh dan ketika dia ditinggal (jauh dari suami) maka akan menjaga dirinya.”
Hadits ini merupakan pernyataan yang jelas bahwa istri yang baik adalah orang (1) yang membuat senang dan bahagia hati suami ketika suaminya melihatnya, (2) mematuhi suaminya ketika dia memerintah mengerjakan sesuatu, dan (3) melindungi kehormatannya, rahasianya, keluarga (anak-anak) dan hartanya ketika suami tidak ada di sisinya.
Diriwayatkan dalam Shohih al-Jaami’ bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Hati yang bersyukur, lisan yang mengingat Allah dan istri yang baik (zaujah shalihah) yang akan menolong kamu dalam urusan hidupmu dan agamamu, inilah harta benda terbaik yang dapat dimiliki manusia.”
Sangat penting bagi seorang wanita-orang yang akan menjadi istrimu dan membantu kamu menegakkan dien (agama) memiliki sifat-sifat dan kualitas tersebut sebelum kamu mempertimbangkan/memutuskan untuk menikahinya.
Allah meminta kita untuk menikah dengan orang yang baik, shalehah dan bertaqwa:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nur: 32)
Dalam ayat lain, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman tentang sifat-sifat wanita jannah (surga):
“Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS An-Nisaa’: 34)
Shalihat artinya mereka adalah wanita yang baik agamanya. Qaanitaat artinya mereka patuh terhadap suaminya. Dan Haafizaat lil-Ghaib artinya mereka menjaga harta, kekayaan, anak-anak suaminya dan seterusnya tatkala suaminya pergi.
Dilaporkan dalam Mu’jam ath-Thabraani al-Kabiir dan Shahih al-Jaami’, dari Abdullah bin Salaam Radliallahu Anhu bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Wanita yang terbaik adalah wanita yang menyenangkan kamu tatkala kamu melihatnya, mematuhimu ketika kamu memerintahnya, menjaga dirinya sendiri (kesuciannya) dan harta kamu dalam ketiadaan kamu.”
Wanita yang patuh (taat) kepada Allah, Rasul-Nya dan suaminya maka tidak diragukan lagi dia layak mendapatkan jannah. Dilaporkan dalam Musnad al-Imaam Ahmad bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“Jika seorang wanita menegakkan sholat 5 waktunya, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kesuciannya dan mematuhi suaminya, maka akan dikatakan kepadanya (di hari pengadilan), masuklah ke dalam surga dari pintu yang kamu sukai.”
Oleh karena itu, sifat-sifat dari wanita yang baik yang telah disebutkan oleh Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan Rosul-Nya adalah:
* Shaalihat, mereka melaksanakan dien dan memiliki dien/agama yang baik
* Qaanitaat (mutii’aat), patuh kepada suaminya sepanjang dia tidak memerintahkan untuk tidak patuh kepada Allah.
* Menjaga diri mereka tatkala suaminya tidak ada
* Menjaga harta, kekayaan dan anak-anak suami
* Membahagiakan hati suami (yaitu dengan aktif untuk menyayangi dan bersosialisasi dengannya)
Dilaporkan bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“Wanita (pada umumnya) dinikahi karena 4 hal : karena hartanya, karena statusnya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Pilihlah wanita yang baik agamanya, maka tanganmu akan dipenuhi dengan pasir-pasir (kebaikan).” (Shahih Muslim, Hadist No. 1466)
Taribat Yadaak (maka tanganmu akan dipenuhi dengan pasir) artinya bahwa jika seseorang memilih seorang wanita yang memiliki kebaikan dien dalam pernikahan mereka maka tangan mereka akan dipenuhi kebaikan dan mereka menjaga diri mereka dari sesuatu yang tidak menyenangkan hidup.
Jika seorang wanita memiliki agama yang baik, maka dia akan membawa ketenangan di rumahnya dan akan menyebabkan kebahagiaan pada suaminya. Dia akan menjadi lahan yaitu melahirkan anak-anak yang baik dan mereka akan mewarisi sifat-sifatnya dan karakter-karakternya. Bagaimanapun, jika dia menyimpang maka anak-anaknya akan mewarisi karakternya yang buruk dan personalitasnya, pernikahan akan mengalami petaka kegagalan, adapun suami akan gagal memenuhi apa yang diperintahkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala yaitu untuk memilih wanita yang baik.
Wanita yang baik akan selalu menyesuaikan apa yang dia katakan dengan lakukan, dia adalah penjaga harta suaminya, rahasianya, kehormatan dan reputasinya. Reputasinya sebagai seorang wanita yang baik akan membawa kehormatan kepada keluarga.
Tidak diragukan, kecantikan, karakternya, personalitas, ketaqwaan dan agamanya melebihi kecantikan wajah dan fisiknya yang nampak. Hal tersebut akan tinggal selamanya. Adapun kalau kecantikan wajah maka akan berubah (yaitu kerena faktor usia) hanya dalam ukuran tahun.
Untuk wanita yang buruk akhlaqnya, kalau dia tua maka dia akan mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia masih muda dan merasa seperti wanita-wanita yang berumur belasan tahun. Dia tidak akan punya waktu untuk membaca Al-Qur’an, mengurus anak-anak atau bahkan suaminya. Sebaliknya dia akan berada di depan kaca, menggunakan make-up, dan mencoba menyembunyikan keriput dan noda-noda di wajahnya.
Wanita yang baik, akan selalu ingat akan tanggung jawab terhadap suaminya dan kewajibannya kepada Allah. Dia akan selalu mengingatkannya untuk sholat, mendorongnya untuk berdakwah dan mendukung jihad serta mengerjakan kewajiban-kewajibannya tanpa diminta. Jika suaminya baik maka suaminya akan memenuhi kebutuhannya dan memperhatikannya, dia tidak akan pernah melirik wanita lain karena istrinya tertambat di dalam hatinya.
Abdullah bin Rawaahah Radliallahu Anhu memiliki seorang budak hitam. Dia pernah memukulnya dan kemudian dia merasa bersalah karena telah melakukannya. Dia kemudian pergi menemui Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam dan mengatakan kepadanya apa yang terjadi. Nabi bertanya kepada Abdullah tentang gambaran karakternya. Abdullah menginformasikan kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam bahwa dia (budak wanitanya) berpuasa, sholat dan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallah. Nabi Salallahu Alaihi Wasallam bertanya lagi, “Berarti dia adalah seorang yang beriman.” Abdullah Radliallahu Anhu berkata, “Saya akan pergi untuk membebaskannya dan menikahinya.”
Ada beberapa orang yang mulai mencela Abdullah karena menikahi seorang budak wanita, karena mereka masih sering melirik orang-orang kafir untuk mereka nikahi. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala kemudian menurunkan ayat :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al-Baqarah, 2:221)
Dilaporkan juga bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan wanita berkulit hitam yang berada di bawah kekuasaan Hudaifah bin al-Yaman Radliallahu Anhu. Hudaifah berkata kepada Khansaa’, budak wanitanya : “Wahai Khansaa’, Allah telah berfirman tentang kamu. Oleh karena itu, saya akan membebaskanmu, kemudian menikahimu.”
Dalam ayat ini subyek utamanya adalah agama yang baik. Kecantikan tubuh atau wajah bersifat subyektif tiap orang. Beberapa orang menyukai wanita dengan hidung yang mancung, yang lainnya menyukai wanita dengan hidung yang pendek. Beberapa orang juga menyukai wanita yang bermata lebar, adapun yang lain lebih tertarik pada wanita yang bermata sipit. Beberapa laki-laki menyukai wanita yang besar, yang lainnya menyukai yang langsing. Beberapa diantaranya menyukai wanita yang pendek, yang lainnya suka yang tinggi. Jadi kecantikan itu tergantung mata yang melihat. Apakah keumuman setiap laki-laki menyukai wanita yang baik agamanya, personalitas dan karakternya? Atau lebih menyukai wanita yang cantik di luar sana akan tetapi dia suka menyumpah, berteriak-teriak dan memiliki karakter yang buruk?
Dilaporkan dalam Shohih Bukhori bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Tiga orang yang akan mendapatkan pahala ganda yaitu:
(1) Seseorang dari golongan ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani) yang beriman kepada nabinya (Isa atau Musa) kemudian beriman kepada Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam (yaitu masuk Islam).
(2) Seorang budak yang memenuhi kewajibannya kepada Allah dan juga kepada majikannya.
(3) Seorang majikan (pemilik budak) yang memiliki budak wanita kemudian mengajarinya jalan yang terbaik (dien/agama), membebaskannya kemudian menikahinya. Bagi dirinya (orang majikan tersebut) akan mendapatkan 2 pahala.”
(Kitab Ilmu, Bab 31, Hadist No. 97).
Pasangan yang terbaik dalam hidup ini adalah wanita yang beriman (muslim) dengan kebaikan agamanya maka ia akan dapat menolong suaminya untuk menempuh kehidupan yang sesuai dengan Islam.
Istri yang baik adalah seperti Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu Anhu, istri Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, wanita yang mengimaninya ketika orang-orang mengkufurinya; mempercayainya ketika orang-orang tidak mempercayainya; menerima apa yang beliau katakan ketika orang-orang mengingkarinya; melindunginya ketika beliau membutuhkannya; menolongnya ketika orang-orang mencoba untuk mencelakakannya. Khadijah mendampinginya dalam kehidupan yang susah maupun senang.
Wanita yang baik adalah seperti Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu Anhu, wanita yang sangat bangga akan agamanya. Dia mengirimkan anak laki-lakinya ke jalan surga dengan syahid, dan dia mendorongnya untuk berdiri teguh di depan Thaghut sampai mati dengan kematian yang mulia.
Istri yang baik adalah seperti Shafiyyah binti Abdil Muthalib Radhiyallahu Anhu, wanita yang sibuk ke medan perang untuk memerangi Yahudi yang ingin menyerang kehormatan orang-orang yang beriman.
Istri yang baik adalah seperti Sahaabiyyah Khansaa’ Radhiyallahu Anhu, wanita yang mengirim semua anak laki-lakinya yang berjumlah 4 untuk pergi berjihad. Ketika datang berita bahwa keempat anak laki-lakinya syahid, dia berkata: “Terima kasih ya Allah karena telah menjadikan mereka semua syahid dan aku berdo’a agar aku dapat bertemu dengan mereka di hari pengadilan nanti!”
Istri yang baik adalah Waluud yang artinya dia ingin memiliki anak. Dia bukanlah seseorang yang mengatakan, “Aku ingin menjaga penampilanku dan tidak ingin memiliki anak.” Istri yang baik adalah orang yang ingin memiliki banyak anak.
Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Menikahlah dan perbanyaklah anak-anakmu, sesungguhnya aku akan membanggakan kamu di hari pengadilan nanti.” (Shahih al-Jaami’, Hadist No. 3366)
Jadi tujuan dari pernikahan bukan hanya untuk memperoleh kenikmatan akan tetapi juga untuk meneruskan ras manusia.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS Al-Kahfi: 46)
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala juga berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran: 14)
Ada banyak hal yang diingini oleh manusia-manusia: wanita, anak-anak, emas, perak (harta), kuda dan seterusnya; akan tetapi apa yang Allah berikan kepada kita di akhirat adalah jauh lebih baik.
Dalam Surat Maryam dikatakan bahwa Zakariyyah Alaihi Salam memohon kepada Allah:
“Ia berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS Maryam: 4-6)
Jadi alasan menikah adalah memiliki anak. Inilah kenapa sangat penting bagi wanita untuk memahami hal ini sebelum dia menikah, yaitu dia diharapkan untuk memiliki anak, bukan untuk menyelesaikan pendidikannya atau belajar mengendarai mobil.
Jika dia tidak tahu bagaimana cara untuk memasak, bersih-bersih, mencuci atau menjahit, tidak juga ingin memiliki anak, lantas untuk apa dia sebagai seorang istri?
Wanita yang baik adalah yang lembut, bijaksana dan lemah lembut. Jika suaminya berbicara kepadanya, dia tidak membantah atau berteriak kembali kepadanya. Sekiranya dia seorang istri, dia bukanlah pegulat atau petinju.
Mukmin yang baik, suami yang baik dan istri yang baik akan meminta dan memohon kepada Allah agar dianugerahi anak yang sholeh:
“Dan orang orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqaan: 74)
Bahkan malaikat-malaikat beristighfar dan memohonkan ampun kepada Allah untuk manusia, istrinya dan anak-anaknya serta menjadikan mereka bahagia:
“Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam syurga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Mu’min: 8)
Kenikmatan dunia adalah istri dan anak. Jika seorang wanita tidak bisa melahirkan anak disebabkan dia sakit maka ini bukanlah kekuasaan-Nya. Akan tetapi jika dia sangat menginginkan untuk memiliki anak maka dia adalah wanita yang baik agamanya. Dia tidak harus cantik (sesuai dengan pandangan beberapa orang), akan tetapi dia dapat menawan hati suaminya dengan karakternya dan personalitasnya. Daripada menggunakan kecantikannya akan tetapi di setiap waktu dia berbicara dengan suara seperti George Bush atau Khaddafi.
Dilaporkan dalam Sunan Abu Dawud bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam dan berkata kepadanya, “Aku mencintai seorang wanita yang baik nama (statusnya) yaitu cantik, akan tetapi tidak bisa punya anak. Apakah anda menyarankan aku untuk menikah dengannya?” Nabi Salallahu Alaihi Wasallam berkata, “Jangan.” Laki-laki tadi datang kembali 2 kali akan tetapi setiap kesempatan Nabi Salallahu Alaihi Wasallam menjawabnya, “Jangan.” Setelah waktu yang ketiga kalinya Nabi Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Nikahilah wanita yang waduud (patuh, takut kepada suami) dan waluud (bisa punya anak). Aku akan membanggakan kamu (di hari pengadilan nanti).” (Sunan Abu Dawud, Kitabun Nikaah, Hadist No. 2050)
Wanita yang waluud yaitu bisa punya anak dan memiliki kesehatan yang bagus. Biasanya jika ibunya atau bibinya punya anak banyak maka dia akan mampu memiliki anak juga.
Wanita yang waduud adalah wanita yang bijaksana dan baik terhadap suaminya. Dia tersenyum kepadanya, berbicara dengan bijak dan ingin suaminya menjadi bahaga. Dia akan tersenyum dengan cinta dan kasih sayang.
Dilaporkan dalam hadits shahih al-Bukhori bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Di antara semua wanita-wanita yang menunggang onta (yaitu wanita-wanita Arab); wanita dari Bani Quraisy adalah yang terbaik. Mereka penyayang dan baik hati terhadap anak-anak mereka dan penjaga terbaik atas kekayaan suami mereka.” (Al-Bukhari, Kitab 60, Bab 46, Hadist No. 3434)
Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam menggambarkan mereka sebagai yang terbaik karena mereka lemah lembut dan baik hati terhadap anak-anak mereka dan secara otomatis akan disayang dan diridhai suami mereka.
Wanita yang baik adalah penjaga dan pelindung harta kekayaan dan rahasia-rahasia suami mereka. Apa yang suaminya katakan terhadapnya secara pribadi, dia tidak seharusnya mempublikasikan atau mengatakan kepada temannnya.
Mudah untuk mendapatkan suami yang baik saat ini, akan tetapi tidak mudah untuk mendapatkan istri yang baik.
Istri yang baik akan mengikuti pendapat (hukum) dari suaminya, bukan dengan pendapatnya sendiri. Dia tidak akan mengatakan kepadanya, “Kamu dapat merayakan I’ed hari ini, akan tetapi aku akan merayakannya besok.”
Seorang suami tidak akan pernah hidup dalam ketenangan jika menikah dengan wanita yang agamanya sesat, seorang Habashi, Deobandi atau Tahriiri. Inilah kenapa begitu penting bagi dirinya untuk menikahi seorang wanita yang mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (mengikuti nabi dan sahabat-sahabatnya).
Keduanya idealnya memiliki agama yang sama dan aqidah (keyakinan) yang sama. Jika seorang istri mengimani bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, sementara suaminya mengimani bahwa Allah ada dimana-mana, maka akan selalu terjadi perselisihan pendapat dan debat argumen, adapun pernikahannya tidak akan bisa melakukan kerjasama diantara keduanya.
Agama yang baik bukan hanya shalat atau berpuasa. Jika seorang laki-laki memiliki agama yang baik, dia akan mengimani bahwa Yahudi dan Nasrani adalah kafir, dan jika wanita memiliki agama yang buruk maka dia akan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman.
Lebih lanjut, wanita tersebut akan mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah negara sekuler, dimana pikiran-pikiran mereka akan diracuni dengan pemikiran kufur.
Jika seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita Barelwi atau pelaku bid’ah maka istrinya akan mengajarkan anak-anaknya untuk menyembah kuburan dan meminta bantuan dari orang yang sudah meninggal dunia.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar-Ruum: 21)
Bagaimana mungkin akan ada ketenangan dalam pernikahan jika istrinya menekan suaminya untuk membelikannya baju-baru baru, sepatu berhak tinggi, tas dan barang-barang perhiasan setiap hari? Setiap hari dia butuh waktu berjam-jam untuk bermake-up (berhias) dan jika suaminya mengomentarinya mengenai satu hal maka dia akan membuat hidup suaminya sedih. Itu bukanlah sifat seorang istri yang seharusnya.
Wanita butuh untuk meraih cinta dari suaminya dan menginginkan untuk dapat meraih surga melaui taat pada suaminya. Dia akan memasak untuknya, membersihkan baju-bajunya, menyetrika pakaian-pakaiannya dan menyiapkan makanan. Dia bukanlah seorang budak atau pembantu, akan tetapi ini adalah peran normal dari seorang istri.
Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Aku akan informasikan kepadamu tentang wanita ahli surga! (mereka adalah) waduud (penuh kasih sayang dan sayang kepada suami mereka), waluud (subur) dan bermanfaat. Jika dia berpamitan kepadamu maka dia akan mengatakan, “Disini tanganku yang ada dalam tanganmu. Saya tidak bisa tidur hingga kamu senang.” (Shohih al-Jaami’)
Hadits ini menggambarkan seorang wanita jannah (surga) yang digambarkan sebagai seorang yang tidak akan beranjak tidur (setelah berpamitan kepada suaminya) hingga dia memegang tangannya dan berkata, “Saya akan beranjak tidur hingga kamu ridha terhadapku.” Atau hingga dia dimaafkan. Di manakah macam wanita jenis ini sekarang ini? Sekarang, jika suami berpamitan kepada istrinya maka istrinya akan mengatakan kepadanya pergilah ke neraka dan membuat suaminya tidur dalam kebun.
Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam menyarankan para pengikut-pengikutnya untuk menikah dengan wanita yang perawan. Konsep ini memberi tekanan bagi seorang wanita agar mempertimbangkan dengan benar masalah perceraian karena dia akan mengetahui bahwa akan sulit baginya untuk menikah lagi.
Inilah salah satu cara bahwa Islam melindungi keluarga; seorang istri tidak bisa lari hanya karena dia tidak memiliki televisi (sebagai contoh) karena dia tahu bahwa perceraian adalah sebuah pantangan dalam pernikahan.
Saat ini jika seorang suami mencoba menasehati dispilin kepada istrinya maka istrinya akan berteriak kepadanya atau berpikir bahwa suaminya mencoba untuk mengontrolnya.
Lebih lanjut jika dia (suaminya) berpamitan kepada istrinya maka dia tidak akan menemaninya karena dia pergi untuk melihat TV dan melihat laki-laki lain yang dia sukai.
Pada masa lalu, seorang ibu menasehati anak perempuannya, “Jadilah sebagai pembantu/hambanya, maka dia akan menjadi hambamu. Jadilah lahannya, dan dia akan menjadi akarmu.”
Saya berdoa kepada Allah semoga pelajaran ini dapat memberi pencerahan atas kriteria untuk memilih patner yang baik. Selalu perhatikanlah kebaikan agamanya karena orang yang mengetahui hukum syari’ah maka diapun juga akan mengetahui mana yang halal dan yang haram.
Wallahu’alam bis showab!
www.almuhajirun.com
Sumber: Almuhajirun

20 Cara Membahagiakan Suami Anda

Tidak lengkap rasanya jika ada 20 cara membahagiakan istri Anda, tidak ada 20 cara membahagiakan suami Anda. Berikut masih dalam buku yang sama, “Nasihat Indah Untuk Suami Istri”, karya Syekh Umar Bakri Muhammad, bagaimana para istri memikat suami mereka. Semoga bermanfaat!

1.Anda adalah sekuntum mawar yang sedang bersinar di rumah Anda. Buatlah disaat suami Anda  masuk ke rumah, dia merasa bahwa kecantikan dan keharuman mawar tersebut, tidak bukan dan tidak lain hanyalah untuknya seorang.
2.Bagaimana caranya agar suami Anda itu bisa merasa damai dan nyaman, baik dengan perbuatan ataupun dengan kata-kata ? Hal itulah yang secara terus menerus Anda selalu usahakan untuk suami Anda. Untuk kesempurnaannya, lakukan itu dengan sepenuh jiwa.
3.Sopan dan penuh perhatianlah Anda ketika berbincang-bincang  dan berdiskusi, jauhkanlah perdebatan dan sikap keras kepala untuk mengemukakan pendapat Anda.
4.Pahami  kebenaran dan keindahan prinsip-prinsip Islam di balik kelebihan sang suami terhadap Anda selaku istri, yang memang terkait dengan kodrat seorang wanita, dan janganlah hal ini dianggap sebagai sesuatu yang dzolim (penindasan).
5.Lembutkanlah suara Anda ketika berbicara dengan sang suami dan pastikan suara Anda tidak meninggi pada saat dia bersama Anda.
6.Pastikan Anda bangun pada malam hari untuk melakukan sholat malam secara rutin, hal ini akan membawa kecerahan dan kebahagiaan pada perkawinan Anda, sungguh mengingat Allah SWT akan membawa ketenangan pada hati Anda.
7.Bersikaplah diam ketika suami Anda sedang marah dan jangan tidur kecuali dia mengijinkannya.
8.Berdirilah dekat suami Anda ketika dia sedang memakai baju dan sepatunya.
9.Buatlah suami Anda merasa bahwa Anda menginginkan sang suami untuk mengenakan baju yang Anda pilih buat dia, pilihlah pakaian itu oleh Anda sendiri.
10.Anda harus sensitif dan memahami kebutuhan suami Anda, untuk menjadikan pernikahan Anda menjadi yang terbaik tanpa menghabiskan waktu Anda.
11.Ketika ada perselisihan pendapat, hendaknya Anda tidak menunggu agar sang suami meminta ma’af kepada Anda (jangan jadikan hal ini sebagai prioritas utama harapan Anda) kecuali kalau suami Anda secara sadar mengakuinya.
12.Rawatlah penampilan dan pakaian suami Anda, biarpun kelihatannya suami Anda malas untuk merawat dan memakainya, tapi yakinlah bahwa dia akan menyukainya sebagaimana teman-temannya juga akan menyukainya.
13.Hendaknya Anda tidak selalu mengandalkan suami Anda untuk berkeinginan melakukan hubungan badan,  sekali-kali Anda mulailah lebih dulu, tentu pada saat  yang tepat.
14.Di malam hari, jadilah seperti pengantin baru buat suami Anda, janganlah Anda beranjak tidur lebih dulu dari sang suami, kecuali kalau dirasa sangat perlu.
15.Janganlah menunggu atau mengharapkan balasan dari semua perbuatan dan kebiasaan baik Anda,  banyak suami karena kesibukan kerjanya, gampang melupakan untuk melakukan hal tersebut,  atau secara tidak sengaja lupa untuk menyampaikan penghargaan yang semestinya kepada Anda.
16.Hendaknya berbuat sesuai dengan keadaan dan kemampuan keuangan yang ada, dan jangan meminta sesuatu yang berlebihan dan mahal.
17.Ketika suami Anda baru pulang dari perjalanan yang lama ataupun bepergian dari tempat yang jauh, sambutlah dia dengan wajah yang ceria dan tunjukkanlah bahwa Anda sangat merindukan kedatangannya.
18.Ingatlah selalu bahwa keberadaan sang suami adalah salah satu sarana mendekatkan diri Anda kepada Allah SWT.
19.Pastikan Anda untuk selalu memperbaharui dan merubah bentuk penampilan Anda, sebagai tanda dan ungkapan  kasih Anda menyambut suami tercinta.
20.Ketika sang suami meminta sesuatu untuk melakukan hal-hal tertentu, maka pastikan Anda melakukannya dengan sigap dan sepenuh hati,  jangan sampai Anda merasa enggan dan lamban.
Source: Almuhajirun

Wanita Dahulu dan Sekarang

Allah SWT menciptakan makhuknya berpasang-pasangan. Di antara makhluknya yang paling indah dan sempurna adalah manusia. Allah SWT juga telah menurunkan petunjuknya yang paling sempurna. Sehingga, bila manusia menerima dan mengamalkan petunjuk itu, betapa indahnya manusia itu. Sebaliknya, bila ia menolaknya, betapa rendah dan jeleknya manusia itu, bahkan Al-Qur’an menyebutnya lebih hina dari binatang.

Allah SWT menjadikan keindahan ada dalam wanita meskipun pada hakikatnya antara pria dan wanita sama di hadapan Allah SWT. Hanya saja, Allah menjadikan keindahan itu ada pada wanita karena kelembutan, kasih sayang, dan emosinya yang lebih daripada kaum pria. Betapa indahnya sang wanita jika dihiasi dengan syariat Allah. Ia menjadi anak yang taat kepada Allah dan kedua orang tuanya. Jika ia menikah, ia menjadi penyayang bagi suaminya. Jika ia menjadi ibu, ia menyayangi dan mendidik anak-anaknya dengan sebaik mungkin. Dari wanita shalehah seperti inilah lahir pejuang-pejuang yang tangguh dan pemimpin yang bijaksana. Perhatikan keadaan wanita pada masa Rasulullah saw. dengan generasi salafus saleh sesudahnya. Mereka, kaum wanita itu, ada di balik segala keberhasilan dan kecemerlangan peradaban Islam. Apakah wanita dewasa ini bisa mengikuti jejak para pendahulunya? Marilah kita lihat kenyataannya.
Wanita dalam Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an terdapat 114 surah. Di dalamnya tidak ada satu pun surah tentang pria (ar-rijal), tapi menariknya ada surah tentang wanita (An-Nisaa’), bahkan lebih spesifik ada surah Maryam, meskipun dia bukan nabi. Umar ra. memerintahkan kepada wanita untuk mempelajari surah An-Nuur (cahaya) karena di dalamnya mengandung pelajaran bagi kaum wanita agar lebih bercahaya. Keberadaan kaum wanita sama dengan kaum pria di hadapan Allah.
Allah SWT berfirman (yang artinya), “Maka, Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain …’.” (Ali Imran, 3: 195).
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik …” (An-Nahl: 97).
Keberadaan wanita sebagaimana pria dalam kehidupan ini mengalami ujian yang bermacam-macam. Namun, mereka harus tetap tegar dan shalehah seperti yang dicontohkan Al-Qur’an dengan Asiyah, istri Fira’un yang sabar dalam menghadapi ujian dari suaminya, atau seperti Maryam yang tabah menghadapi ujian hidup tanpa suami. (Lihat At-Tahrim 11-12). Sebaliknya, jangan seperti istri Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. yang berkhianat terhadap suaminya dan tidak taat kepada Allah. (At-Tahriim: 10).
Wanita pada Masa Rasulullah
Rata-rata kaum wanita pada masa Rasulullah saw. tidak ketinggalan ikut berlomba meraih kebaikan, meskipun mereka juga sibuk sebagai ibu rumah tangga. Mereka ikut belajar dan bertanya kepada Rasulullah saw.
Wanita yang paling setia kepada Rasulullah adalah Khadijah yang telah berkorban dengan jiwa dan hartanya. Kemudian Aisyah, yang banyak belajar dari Rasulullah kemudian mengajarkannya kepada kaum wanita dan pria. Bahkan, ada pendapat ulama yang mengatakan, seandainya ilmu seluruh wanita dikumpulkan dibanding ilmu Aisyah, maka ilmu Aisyah akan lebih banyak. Begitulah Rasulullah saw. memuji Aisyah.
Ada seorang wanita bernama Asma binti Sakan. Dia suka hadir dalam pengajian Rasulullah saw. Pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah,”Ya Rasulullah saw., engkau diutus Allah kepada kaum pria dan wanita, tapi mengapa banyak ajaran syariat lebih banyak untuk kaum pria? Kami pun ingin seperti mereka. Kaum pria diwajibkan shalat Jum’at, sedangkan kami tidak; mereka mengantar jenazah, sementara kami tidak; mereka diwajibkan berjihad, sedangkan kami tidak. Bahkan, kami mengurusi rumah, harta, dan anak mereka. Kami ingin seperti mereka. Maka, Rasulullah saw. menoleh kepada sahabatnya sambil berkata, “Tidak pernah aku mendapat pertanyaan sebaik pertanyaan wanita ini. Wahai Asma, sampaikan kepada seluruh wanita di belakangmu, jika kalian berbakti kepada suami kalian dan bertanggung jawab dalam keluarga kalian, maka kalian akan mendapatkan pahala yang diperoleh kaum pria tadi.” (HR Ibnu Abdil Bar).
Dalam riwayat Imam Ahmad, Asma meriwayatkan bahwa suatu kali dia berada dekat Rasulullah saw. Di sekitar Rasulullah berkumpullah kaum pria dan juga kaum wanita. Maka beliau bersabda, “Bisa jadi ada orang laki-laki bertanya tentang hubungan seseorang dengan istrinya atau seorang wanita menceritakan hubungannya dengan sumianya.” Maka tak seorang pun yang berani bicara, maka saya angkat suara. “Benar ya Rasulullah, ada pria atau wanita yang suka menceritakan hal pribadi itu.” Rasulullah menimpali, “Jangan kalian lakukan itu, karena itu jebakan syaitan seakan syaitan pria bertemu dengan syaitan wanita, kemudian berselingkuh dan manusia pada melihatnya.”
Ada juga wanita yang tabah dalam kehidupan rumah tangga yang serba pas-pasan tapi tidak pernah mengeluh seperti Asma’ binti Abi Bakar dan Fatimah. Kutub Tarajim membenarkan cerita tentang Fatimah. “Suatu saat dia tidak makan berhari-hari karena nggak ada makanan, sehingga suaminya, Ali bin Abi Thalib, melihat mukanya pucat dan bertanya,”Mengapa engkau ini, wahai Fatimah, kok kelihatan pucat?”
Dia menjawab,”Saya sudah tiga hari belum makan, karena tidak ada makanan di rumah.”
Ali menimpali,”Mengapa engkau tidak bilang kepadaku?”
Dia menjawab,”Ayahku, Rasulullah saw., menasehatiku di malam pengantin, jika Ali membawa makanan, maka makanlah. Bila tidak, maka kamu jangan meminta.”
Luar biasa bukan?
Ada juga wanita yang diuji dengan penyakit, sehingga dia datang kepada Rasulullah saw. meminta untuk didoakan. Atha’ bin Abi Rabah bercerita bahwa Ibnu Abbas r.a. berkata kepadaku,”Maukah aku tunjukkan kepadamu wanita surga?”
Aku menjawab,”Ya.”
Dia melanjutkan,”Ini wanita hitam yang datang ke Rasulullah saw. mengadu, ‘Saya terserang epilepsi dan auratku terbuka, maka doakanlah saya.’ Rasulullah saw. bersabda, “Jika kamu sabar, itu lebih baik, kamu dapat surga. Atau, kalau kamu mau, saya berdoa kepada Allah agar kamu sembuh.”
Wanita itu berkata,”Kalau begitu saya sabar, hanya saja auratku suka tersingkap. Doakan supaya tidak tersingkap auratku.”
Maka, Rasulullah saw. mendoakannya.
Ada juga wanita yang ikut berperang seperti Nasibah binti Kaab yang dikenal dengan Ummu Imarah. Dia becerita,”Pada Perang Uhud, sambil membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan Rasulullah saw. Sementara, aku melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah sambil ikut berperang membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala Rasulullah saw. terpojok dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush’ab bin Umair. Aku berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat memukul pundakku sampai terluka. Rasulullah saw. bercerita,”Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud.” Begitu tangguhnya Ummu Imarah.
Ada juga Khansa yang merelakan empat anaknya mati syahid. Ia berkata,”Alhamdulillah yang telah menjadikan anak-anakku mati syahid.”
Begitulah peranan wanita pada masa Rasulullah saw. Mereka berpikir untuk akhiratnya, sedang wanita sekarang yang lebih banyak memikirkan dunia, rumah tinggal, makanan, minuman, kendaraan, dan lain-lain.
Kaum Wanita paa Masa Berikutnya
Ketika Utsman bin Affan mengerahkan pasukan melawan manuver-manuver Romawi, komandan diserahkan kepada Hubaib bin Maslamah al-Fikir. Istri Hubaib termasuk pasukan yang akan berangkat perang. Sebelum perang dimulai, Hubaib memeriksa kesiapan pasukan.
Tiba-tiba istrinya bertanya,”Di mana saya menjumpai Anda ketika perang sedang berkecamuk?”
Dia menjawab,”Di kemah komandan Romawi atau di surga.”
Ketika perang sedang berkecamuk, Hubaib berperang dengan penuh keberanian sampai mendapatkan kemenangan. Segera dia menuju ke kemah komandan Romawi menunggui istrinya. Yang menakjubkan, saat Hubaib sampai ke tenda itu, dia mendapatkan istrinya sudah mendahuluinya. Allahu Akbar.
Pada masa Dinasti Abbasiyah yang dipimipin oleh Harun al-Rasyid, ada seorang Muslimah disandera oleh tentara Romawi. Maka, seorang ulama bernama Al-Manshur bin Ammar mendorong umat Islam untuk berjihad di dekat istana Harun al-Rasyid dan dia pun menyaksikan ceramahnya. Tiba-tiba ada kiriman bungkusan disertai dengan surat. Surat itu lalu dibuka dan dibaca oleh ulama tadi dan ternyata berasal dari seorang perempuan dan berbunyi,”Aku mendengar tentara Romawi melecehkan wanita Muslimah dan engkau mendorong umat Islam untuk berjihad, maka aku persembahkan yang paling berharga dalam diriku. Yaitu, seuntai rambutku yang aku kirimkan dalam bungkusan itu. Dan, aku memohon agar rambut itu dijadikan tali penarik kuda di jalan Allah agar aku dapat nantinya dilihat Allah dan mendapatkan rahmatnya.” Maka, ulama itu menangis dan seluruh hadirin ikut menangis. Harun al-Rasyid kemudian memutuskan mengirim pasukan untuk membebaskan wanita Muslimah yang disandera itu.
Seorang istri Shaleh bin Yahya ditinggal suaminya dan hidup bersama dua anaknya. Ia mendidik anak-anaknya dengan ibadah dan qiyamul lail (shalat malam). Ketika anak-anaknya semakin besar, dia berkata,”Anak-anakku, mulai malam ini tidak boleh satu malam pun yang terlewat di rumah ini tanpa ada yang shalat qiyamullail.”
“Apa maksud ibu?” tanya mereka.
Ibu menjawab,”Begini, kita bagi malam menjadi tiga dan kita masing-masing mendapat bagian sepertiga. Kalian berdua, dua pertiga, dan saya sepertiga yang terakhir. Ketika waktu sudah mendekati subuh, saya akan bangunkan kalian.”
Ternyata kebiasan ini berlanjut sampai ibu mereka meninggal. Dan amalan itu tetap dilanjutkan oleh dua anak itu karena mereka sudah merasakan nikmatnya qiyamullalil.
Wanita Dewasa Ini
Kalau kita perhatikan perkembangan wanita dewasa ini, memang cukup mengkhawatirkan, meskipun di lain pihak masih banyak kaum wanita berjilbab yang semarak. Bahkan, pengajian-pengajian justru dipenuhi oleh kaum wanita. Tapi, melihat berbagai upaya musuh Islam untuk menghancurkan kaum hawa dengan berbagai cara melalui media massa yang destruktif (merusak), maka tantangannya semakin berat. Kalau tidak berbekal ilmu agama yang cukup dan disertai semangat juang yang tinggi, niscaya wanita pada zaman sekarang sulit untuk selamat. Bayangkan, kehidupan masyarakat di sekeliling kita sampai pergaulan di tingkat nasional dan internasional sudah sangat bejat. Kebejatan itu diliput dan disampaikan ke rumah-rumah kita melalui saluran-saluran TV. Dan, yang tidak puas ditambah dengan VCD dan internet. Sehingga, waktu untuk beribadah kepada Allah semakin terpinggirkan atau tergeser oleh otak yang merekam semua adegan itu.
Sementara, penangkalnya relatif kecil, dengan cara tradisional melalui pengajian minimal seminggu sekali. Maka, kita perlu kunci-kunci keselamatan.
  • Kunci kebahagiaan adalah taat keada Allah dan Rasul-Nya.
  • Kunci surga adalah tauhid.
  • Kunci keimanan adalah berpikir tentang ayat-ayat Allah dan ciptaan-Nya.
  • Kunci kebaikan adalah kejujuran.
  • Kunci kehidupan hati adalah membaca dan mendalami Al-Qur’an serta menjauhi dosa.
  • Kunci rizki adalah berusaha sambil beristighfar dan bertakwa.
  • Kunci ilmu adalah pandai bertanya dan mendengar.
  • Kunci kemenangan adalah sabar.
  • Kunci kesuksesan adalah takwa.
  • Kunci tambah rizki adalah bersyukur.
  • Kunci sukses akhirat adalah zuhud terhadap dunia.
  • Kunci dikabulkan permintaan adalah doa, dll.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: alislamu.com

Peranan Seorang Istri Dalam Islam

Sebuah berita gembira datang dari sebuah hadits Rosul bahwa Rosulullah saw. Bersabda :
” Seluruh dunia ini adalah perhiasan dan perhiasan terbaik di dunia ini adalah wanita yang sholehah”.

Di dalam Islam, peranan seorang istri memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan berumah tangga dan peranannya yang sangat dibutuhkan menuntutnya untuk memilih kualitas yang baik sehingga bisa menjadi seorang istri yang baik. Pemahamannya, perkataaannya dan kecenderungannya, semua ditujukan untuk mencapai keridho’an Allah swt., Tuhan semesta Alam. Ketika seorang istri membahagiakan suaminya yang pada akhirnya, hal itu adalah untuk mendapatkan keridho’an dari Allah swt. sehingga dia (seorang istri) berkeinginan untuk mengupayakannya.
Kualitas seorang istri seharusnya memenuhi sebagaimana yang disenangi oleh pencipta-Nya yang tersurat dalam surat Al-Ahzab. Seorang wanita muslimah adalah seorang wanita yang benar (dalam aqidah), sederhana, sabar, setia, menjaga kehormatannya tatkala suami tidak ada di rumah, mempertaankan keutuhan (rumah tangga) dalam waktu susah dan senang serta mengajak untuk senantiasa ada dalam pujian Allah swt.
Ketika seorang wanita muslimah menikah (menjadi seorang istri) maka dia harus mengerti bahwa dia memiliki peranan yang khusus dan pertanggungjawaban dalam Islam kepada pencipta-Nya, Allah swt. menjadikan wanita berbeda dengan pria sebagaimana yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an:
” Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu.” (QS. An Nisaa’ , 4:32).
Kita dapat melihat dari ayat ini bahwa Allah swt. membuat perbedaan yang jelas antara peranan laki-laki dan wanita dan tidak diperbolehkan bagi laki-laki atau wanita untuk menanyakan ketentuan peranan yang telah Allah berikan sebagaimana firman Allah:
“ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab, 33:36)
Karenanya, seorang istri akan membenarkan Rosulullah dan akan membantu suaminya untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’ah (hukum Islam) dan memastikan suaminya untuk kembali melaksanakan kewajiban-kewajibannya, begitupun dengan kedudukan suami, dia juga harus memenuhi kewajiban terhadap istrinya.
Diantara hak-hak lainnya, seorang istri memiliki hak untuk Nafaqah (diberi nafkah) yang berupa makanan, pakaian dan tempat untuk berlindung yang didapatkan dari suaminya. Dia (suami) berkewajiban membelanjakan hartanya untuk itu walaupun jika istri memiliki harta sendiri untuk memenuhinya. Rosulullah saw. Bersabda :
” Istrimu memiliki hak atas kamu bahwa kamu mencukupi mereka dengan makanan, pakaian dan tempat berlindung dengan cara yang baik.” (HR. Muslim)
Ini adalah penting untuk dicatat bahwa ketika seorang istri menunaikan kewajiban terhadap suaminya, dia (istri) talah melakukan kepatuhan terhadap pencipta-Nya, karenanya dia (istri yang telah menunaikan kewajibannya) mendapatkan pahala dari Tuhan-Nya. Rosulullah saw. mencintai istri-istrinya karena kesholehan mereka.
Aisyah r.a. suatu kali meriwayatkan tentang kebaikan kualitas Zainab ra, istri ketujuh dari Rosulullah saw.,
”Zainab adalah seseorang yang kedudukannya hampir sama kedudukannya denganku dalam pandangan Rosulullah dan aku belum pernah melihat seorang wanita yang lebih terdepan kesholehannya daripada Zainab r.a., lebih dalam kebaikannya, lebih dalam kebenarannya, lebih dalam pertalian darahnya, lebih dalam kedermawanannya dan pengorbanannya dalam hidup serta mempunyai hati yang lebih lembut, itulah yang menyebabkan ia lebih dekat kepada Allah”.
Seperti kebesaran wanita-wanita muslimah yang telah dicontohkan kepada kita, patut kiranya bagi kita untuk mencontohnya dengan cara mempelajari kesuciannya, kekuatan dari karakternya, kebaikan imannya dan kebijaksanaan mereka. Usaha untuk mencontoh Ummul Mukminin yang telah dijanjikan surga (oleh Allah) dapat menunjuki kita kepada karunia surga.
Abu Nu’aim meriwayatkan bahwa Rosulullah saw. Bersabda :
“ Ketika seorang wanita menunaikan sholat 5 waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan mematuhi suaminya, maka dia akan masuk surga dengan beberapa pintu yang dia inginkan”. (Al Bukhori, Al Muwatta’ dan Musnad Imam Ahmad).
wallahu a’lam bish showab..
Sumber: Almuhajirun